Titik Temu
Pemerintah Mau Terapkan Pajak Karbon, Seberapa Penting? 
Editorial Cast | 04.11.2022

Rencana Indonesia menerapkan pajak karbon (carbon tax) mulai 1 Juli 2022 menjadi angin segar dalam upaya pemerintah kita berkontribusi menekan laju krisis iklim dunia. Manfaat dari penerapan pajak karbon sangat banyak, karenanya dianggap sangat penting. 

Pajak karbon secara umum adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Pajak ini dirancang untuk mencegah penggunaan bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon dioksida. 

Dari segi lingkungan, kebijakan pajak karbon bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dalam upaya menuju Net Zero Emission atau nol-bersih emisi. Sesuai Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% atau 441% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. 

Selain itu, berdasarkan studi International Institute for Sustainable Development (IISD), pajak karbon dinilai akan meningkatkan pendapatan negara, sehingga dapat digunakan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat rentan.

Senior Associate Lead Energy Taxation IISD, Tara Laan, menyebutkan bahwa penerapan pajak karbon ampuh untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam hal mengakses energi.

“Masyarakat kelas menengah ke bawah berada di posisi paling rentan ketika harga energi melonjak, khususnya energi listrik,” Tara memberi contoh, saat berbicara dalam webinar Indonesia Data and Economic (IDE) Conference Katadata 2022 yang bertajuk Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery

Tara menjelaskan, pada dasarnya sebagian besar pajak karbon ditarik dari konsumsi bahan bakar atau konsumsi barang masyarakat menengah ke atas. Sumber pendapatan negara ini seharusnya dapat digunakan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat menengah ke bawah.

Pajak energi menyebabkan tarif yang lebih tinggi pada mereka yang menggunakan energi paling banyak. Dengan demikian, lumbung pendapatan diperoleh dari kelompok berpenghasilan tinggi. Sebaliknya, mayoritas orang miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan energi.

“Kelompok berpenghasilan rendah adalah yang paling terdampak lebih dalam pada pengeluaran rumah tangga akibat biaya energi, baik listrik, transportasi, dan keperluan energi dapur. Hasil pajak karbon dapat diarahkan ke kelompok berpenghasilan rendah. Idealnya, ini dilakukan dengan mengurangi tarikan pajak masyarakat miskin,” paparnya. 

Lebih lanjut, kata Tara, jika penerapan pajak karbon diberlakukan secara luas, maka akan berpotensi menaikkan harga energi. Artinya, selain harus membeli energi untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat harus menguras kocek lebih dalam untuk membayar pajak karbon dari hasil pemakaian energi yang mereka beli. 

Masih menurut Tara, pemerintah dapat langsung menggunakan pendapatan dari pajak karbon untuk berinvestasi dalam infrastruktur energi bersih. Hal ini diharap mampu mengamankan aksesibilitas energi yang dapat memberikan alternatif kepada konsumen. 

“Jadi ketika harga bahan bakar fosil naik, mereka punya sesuatu untuk dialihkan, terutama penting untuk memberikan bantuan untuk memasak bersih, karena tentu kita tidak ingin orang beralih kembali ke biomassa, yang jelas sangat tidak sehat,” ujarnya. 

Senada dengan yang disampaikan Tara, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan, apabila kebijakan pajak karbon telah diberlakukan, maka penerimaan pajak karbon bisa bermanfaat untuk dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan dan memberikan bantuan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial. 

“Pajak karbon bisa menjadi stimulus untuk transisi ekonomi hijau yang berkelanjutan,” ujar Dadan. 

Adapun tarif pajak karbon yang ditetapkan adalah Rp30 per kilogram atau Rp30.000 per ton CO2. Penerapan ini diharap dapat terlaksana pada tahun ini di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Selanjutnya, implementasi dan perluasan pajak karbon akan dilaksanakan pada 2025.

Harapan tersebut ditunjang dengan kebijakan pengurangan PLTU dengan tidak ada penambahan, dan PLTU yang ditargetkan akan berhenti beroperasi pada 2056. Dalam proyek ini, Indonesia harus menyediakan dana sebesar 1.042 miliar dollar AS untuk mencapai kapasitas terpasang energi baru dan terbarukan sebesar 587 Giga watt pada 2060. (E03)