Pemerintah Indonesia berupaya melawan dampak perubahan iklim. Salah satunya melalui pembahasan mengenai pemberlakuan pajak karbon, yang konsepnya saat ini telah memasuki tahap finalisasi Peraturan Presiden (Perpres).
“Jika ini disepakati untuk dijalankan, Indonesia nantinya akan memulai era baru pembiayaan perubahan iklim dengan menggunakan instrumen nilai ekonomi karbon dan pajak karbon,” sebut Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan, Dian Lestari, dalam Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum 2021.
“Dimasukkannya pajak karbon ke dalam RUU KUP (Rancangan Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan) merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam upaya nyata mengatasi dampak kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang terus terjadi setiap tahunnya, termasuk kejadian bencana,” sambungnya.
Dalam hitungan pemerintah, jika dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim tidak segera diatasi, potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim dapat mencapai kisaran 0,66% sampai dengan 3,40% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2030.
Melalui instrumen nilai ekonomi karbon dan pajak karbon, peran pembiayaan pemerintah ke depannya akan mengalami pergeseran yang signifikan sekaligus mengubah paradigma konservasi dari belanja publik semata, menuju pemanfaatan pembiayaan berbasis pasar.
Dian menambahkan, perlu peran serta banyak pihak untuk bersama mengatasi dampak perubahan iklim. Ia mengapresiasi peran serta berbagai kalangan yang telah terlibat dalam penanganan dampak perubahan iklim.
“Kolaborasi antarpemangku kepentingan menjadi sangat krusial, khususnya di era pandemi COVID-19 seperti sekarang. Kolaborasi yang solid sangat dipengaruhi kualitas komunikasi bersama yang dibangun,” tutupnya. (E03)