Carbon trading atau perdagangan karbon menjadi isu yang sering dibahas dalam beberapa tahun terakhir, baik secara nasional maupun internasional. Dinilai dapat berperan menurunkan emisi karbon dunia, perdagangan karbon pun jadi salah satu cara menangani perubahan iklim.
Membuka diskusi virtual “Welcoming Carbon Trading Regulation in Indonesia” dalam Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum 2021, CEO Landscape Indonesia Agus P. Sari mendeskripsikan betapa gawatnya kondisi Bumi berdasarkan laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
“Data IPCC memperlihatkan kita sudah berada di 1,1 derajat lebih panas dari rata-rata suhu pertengahan abad ke-19 saat revolusi industri. IPCC menyebut ini tanda bahaya bagi umat manusia,” sebutnya.
Disebutkan Agus, bukti empiris dari perubahan iklim makin tampak nyata. Berbagai bencana yang terjadi di dalam maupun luar negeri akhir-akhir ini kebanyakan terkait dengan perubahan iklim.
“Kita melihat banjir besar yang menenggelamkan dan gelombang panas yang menyulut kebakaran muncul bersamaan di tahun ini, baik di Indonesia maupun di negara lain. Kutub utara dijatuhi hujan, bukan lagi es. Kita masih punya waktu untuk mencegahnya menjadi lebih buruk, tapi harus dilakukan segera. Semua negara, termasuk Indonesia, harus mulai membatasi emisi gas rumah kaca terutama karbon,” papar Agus.
Dalam Perjanjian Paris COP21 tahun 2016, negara-negara di dunia sepakat untuk mengurangi emisi karbon dan menahan temperatur global di bawah dua derajat celcius dari sebelum Revolusi Industri. Namun menurut Agus, meski jika semua negara menjalankan Perjanjian Paris, hal itu masih belum cukup untuk menahan laju pemanasan global.
“Salah satu cara menurunkan emisi adalah pemberian harga atau nilai moneter kepada emisi gas rumah kaca. Dengan begitu, akan terbentuk mekanisme pasar, di mana mereka yang punya kemampuan menurunkan emisi lebih dari yang dibutuhkan, bisa mentransfer penurunan emisi kepada yang lebih kesulitan menurunkannya, serta mendapatkan kompensasi sesuai keseimbangan permintaan dan pasokannya,” kata Agus.
Apa yang dimaksud Agus adalah perdagangan karbon, yaitu kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Perdagangan karbon tidak jauh berbeda dengan transaksi jual beli yang dilakukan di pasar konvensional. Yang berbeda adalah komoditas yang diperjualbelikan, yaitu emisi karbon.
Pembeli emisi karbon biasanya negara maju dan industri besar, sementara penjualnya adalah negara berkembang dengan hutan yang luas sebagai penyerap karbon dioksida sebagai penjual sertifikat. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida.
Emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). Keenam emisi gas ini menjadi pemicu utama pemanasan global di Bumi dan akhirnya menyebabkan krisis iklim.
Perdagangan karbon di Indonesia dinilai memiliki potensi pendapatan yang cukup besar, terutama dari sektor lahan maupun energi. Dengan hutannya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indonesia merupakan salah satu negara penjual emisi karbon yang aktif. Meski demikian, implementasinya memiliki sejumlah tantangan.
Agus mengatakan, tantangan perdagangan karbon terutama pada penyusunan dan pengembangan skema pasar karbon domestik, salah satunya belum terbitnya peraturan presiden (Perpres) sebagai landasan hukum perdagangan karbon. Ketika Perpres sudah terbit pun, nantinya masih akan ada kebutuhan untuk mengaturnya secara sektoral.
Di sisi lain, pemerhati lingkungan hidup juga menyoroti perdagangan karbon bisa menjadi upaya mencari keuntungan untuk menciptakan perdagangan baru. Yang merasakan hasilnya adalah perusahaan yang berdagang karbon.
Karenanya, pemerintah diingatkan untuk tidak melegalkan aturan ini demi mencari keuntungan semata, tetapi tetap pada tujuan utamanya yaitu menekan emisi karbon. (E03)