Perubahan iklim makin jadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup manusia. Hal ini terjadinya karena banyaknya aktivitas manusia yang mendorong peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, diikuti dengan peningkatan suhu Bumi atau yang kita kenal dengan istilah pemanasan global. Lalu, ada pula peristiwa lain yang kadang tidak disadari akibat perubahan iklim, yakni makin langkanya air bersih di sejumlah daerah.
Salah satu dampak perubahan iklim terjadi di wilayah Ladakh, India, yang terletak di bagian bawah pegunungan Himalaya. Wilayah ini memiliki populasi sekitar 300.000 orang, tapi rata-rata hanya menerima sekitar 10 sentimeter curah hujan setiap tahunnya.
Sumber air utama bagi penduduk di wilayah tersebut adalah hujan salju saat musim dingin dan gletser. Biasanya di setiap musim dingin, bongkahan es terbentuk di dataran tinggi, lalu mencair menjadi sungai dengan aliran yang cukup deras. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, salju lebih cepat mencair, bahkan sebelum memasuki musim semi.
Selain itu, gletser yang biasanya muncul kini hanya ditemukan di atas pegunungan, sebelum akhirnya mencair untuk bisa digunakan penduduk. Akibatnya, terkadang air hasil melelehnya gletser tersebut terbuang sia-sia, sebelum tiba di wilayah penduduk. Kondisi ini tentu menyedihkan, apalagi mengingat bahwa air merupakan salah satu sumber kehidupan makhluk hidup.
Dari problem tersebut, seorang insinyur lokal bernama Sonam Wangchuk mengembangkan inovasi untuk membantu para penduduk. Ia mengembangkan sebuah solusi bernama stupa es. Disebut demikian, karena bentuknya yang menyerupai stupa.
Sonam bersama para muridnya membangun stupa es ini pertama kali pada November 2013. Pada dasarnya, solusi ini dikembangkan untuk mengumpulkan air musim dingin yang terbuang dari sungai, dan menyimpannya dalam sebuah gunung es.
Kandungan air dalam gunung es atau stupa es itulah yang dimanfaatkan para penduduk sekitar untuk mengakses air di kala musim semi. Mereka pun bisa menggunakan air dari stupa tersebut untuk mengairi ladang.
Ide awal Sonam ketika menciptakan solusi ini adalah ketika ia melihat es yang tetap membeku ketika di bawah jembatan, meski berada di ketinggian rendah dan musim panas. Dari situ, ia berpikir es yang meleleh itu ternyata banyak terpengaruh oleh sinar Matahari dan bukannya suhu sekitar.
Dalam membangun stupa es atau glatsier buatan ini, Sonam dan tim mengalirkan air tawar dari wilayah yang lebih tinggi ke wilayah yang lebih rendah selama musim dingin. Air tersebut dialirkan melalui pipa yang diletakkan di dasar stupa.
Saat malam hari dengan kondisi suhu yang sangat rendah, air tersebut dapat langsung membeku. Secara perlahan, air itu akan dibentuk menjadi kerucut es besar yang memiliki diameter sekitar 30–50 meter.
Dengan bentuk kerucut, stupa ini memiliki luas permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan volumenya, sehingga sedikit sekali terpapar sinar Matahari langsung. Stupa pertama yang dibangun memiliki ketinggian sekitar 6 meter dan mampu memiliki kandungan air hingga 181 ribuan liter. (E04)