Perdagangan karbon di Indonesia punya potensi besar, terutama dari sektor lahan maupun energi. Meski demikian, implementasinya memiliki sejumlah tantangan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin dalam diskusi virtual “Welcoming Carbon Trading Regulation in Indonesia” dalam Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum 2021 menyebutkan, pemerintah saat ini masih menggodok Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penerapan nilai ekonomi karbon.
Masyita menyebutkan, tantangan pertama adalah perlunya penentuan desain dan mekanisme perdagangan karbon dan pengenaan pajak karbon yang sinergis dan kompatibel dengan struktur ekonomi Indonesia.
“Hal ini untuk memastikan perdagangan karbon yang adil dan terjangkau. Untuk mengubah sesuatu, butuh investasi besar sehingga harus dipikirkan pembiayaan yang terjangkau, mengingat negara punya tujuan lain selain lingkungan,” ujarnya.
Selanjutnya, pelaksanaan carbon pricing atau penerapan harga karbon harus disertai kebijakan pendamping untuk meminimalisir dampak dan mengoptimalkan manfaat ekonomi maupun lingkungan.
Selain itu, diperlukan juga regulasi yang kuat dan adil, sistem pemantauan dan verifikasi yang akuntabel, serta penetapan tarif pajak karbon dan penetapan cap perdagangan karbon yang efektif dan sehat.
Terkait Perpres nilai karbon, Masyita memastikan akan ada dua instrumen perdagangan. Pertama, perdagangan izin emisi (emission trading system) atau membeli izin dari entitas yang kelebihan emisi karbon kepada mereka yang kekurangan emisi. Kedua, offset emisi atau (crediting mechanism) yaitu entitas yang memiliki kelebihan karbon bisa menjual emisi karbon kepada entitas yang memerlukan kredit karbon.
Sementara itu, ada dua jenis instrumen non-perdagangan, yaitu pajak karbon dan result based payment. “Pajak karbon akan secara tidak langsung menaruh floor price pada saat bursa atau pasar karbon di Indonesia sudah mulai berkembang,” ujarnya.
Dalam diskusi yang sama, Chief Strategy Officer Star Energy Geothermal (SEG) Agus Sandy Widyanto mencontohkan, pihaknya menghadapi kendala di pasar karbon internasional. Kendala pertama adalah pendaftaran carbon credit yang sangat kompleks dan berbiaya mahal.
“Bahkan dari tujuh generator kami, hanya dua yang terkualifikasi skema karbon internasional,” sebutnya. Meski begitu, lima generator perusahaannya akhirnya tetap tersertifikasi Renewable Energy Certificate (REC).
Kendala kedua, harga carbon credit internasional terpuruk sejak 2009 dari belasan dolar per ton menjadi USD 1/ton. Sejak 2020, harga carbon credit memang telah pulih meski masih jauh dari acuan sebelumnya.
Kendala selanjutnya adalah minimnya transparansi harga di pasar karbon internasional. Disebutkan Agus, SEG pun hanya tergantung pada para broker untuk menelusuri harga. “Kami harap di Indonesia kita bisa mendapatkan mekanisme bursa karbon yang memberikan transparansi harga,” harapnya.
Di luar itu semua, kendala dan tantangan dalam pengaturan implementasi perdagangan karbon salah satunya juga berkaitan dengan situasi pandemi COVID-19. Meski begitu, kebijakan perdagangan karbon tetap diperlukan demi meminimalisir distorsi ekonomi pasca pandemi.
Karenanya, sebut Masyita, pemerintah mencari waktu yang tepat dalam menerapkan langkah pengaturan nilai karbon. “Semua kebijakan perlu timing yang tepat, terutama Indonesia masih fokus pemulihan pandemi. Tapi kita tidak bisa melupakan tujuan jangka panjang,” ujarnya.
Dia mengingatkan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim mempengaruhi semua sendi kehidupan termasuk kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan dan lautan, penurunan kualitas kesehatan, hingga kelangkaan pangan.
“Dampaknya bisa meningkatkan risiko hingga 80% dari total bencana yang terjadi di Indonesia, itu terkait dengan perubahan iklim. Negara-negara, termasuk Indonesia didorong untuk net zero emission di tahun 2060, kalau bisa lebih cepat,” tutupnya. (E03)