Perubahan iklim berdampak pada semua negara, tak terkecuali Indonesia. Maret lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa perubahan iklim mempengaruhi Indonesia, terbukti dengan mencairnya es di Puncak Jaya, Papua, akibat kenaikan suhu dan cuaca ekstrem.
Dalam beberapa tahun ke depan, es yang berada di puncak gunung tertinggi di Indonesia itu diprediksi akan hilang. Dampak perubahan iklim juga terlihat dari meningkatnya frekuensi curah hujan ekstrem di berbagai daerah di Tanah Air. Hujan ekstrem menyebabkan banjir dan bencana lain yang berdampak pada manusia.
Tak hanya mengakibatkan hujan yang berlebihan, perubahan iklim juga berpotensi menyebabkan kekeringan ekstrem yang pada akhirnya juga berdampak pada kebakaran hutan, pencemaran lintas batas, kegiatan ekonomi, transportasi, serta kesehatan.
“BMKG terlibat dalam penguatan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk dalam kegiatan pertanian dan bidang kesehatan. Kami telah menerapkan Sekolah Lapangan Iklim untuk membantu petani beradaptasi dengan iklim ekstrem dan perubahan iklim. Dengan demikian, petani dapat menyesuaikan pola tanamnya dengan kondisi iklim,” kata Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, dalam webinar membahas perubahan iklim Maret lalu.
Bicara tentang dampak perubahan iklim dalam sebuah diskusi mengenai tantangan energi dan perubahan iklim Indonesia, Profesor Budy Resosudarmo dari Crawford School of Public Policy, The Australian National University, menilai, meskipun kinerja ekonomi relatif baik, sektor energi Indonesia mengalami beban ganda, yakni untuk meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi emisi karbon.
Mengubah ekonomi dari ketergantungan pada energi tak terbarukan menjadi energi terbarukan adalah cara untuk mengatasi beban ini. Memahami dampak dari transformasi dinilai penting, terutama karena pandemi telah membawa beban ketiga, yakni pemulihan ekonomi.
Kuki Soejachmoen dari Indonesia Research Institute for Decarbonization menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia untuk bertransisi ke energi bersih. Tantangan tersebut di antaranya, akses ke energi terbarukan untuk memastikan keamanan pasokan energi, teknologi energi bersih, dan pembiayaan transisi energi.
“Bagaimana mengatasi kemiskinan energi di beberapa daerah? Bisakah harga energi berbasis bersih dan terbarukan lebih murah daripada yang berbasis fosil? Perlu dipikirkan juga akses ke teknologi yang tepat, aman, dan ramah lingkungan, dan untuk pembiayaan transisi energi, anggaran pemerintah tidak akan cukup, apa sumber keuangan lainnya,” beber Kuki.
Senada dengan Kuki, Budy menyebutkan perlu adanya transformasi sektor energi untuk mengelola ketahanan energi negara dan emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil. Dia menyarankan penggunaan ekstensif untuk energi terbarukan, khususnya energi surya, angin, dan air untuk menghasilkan listrik termasuk pembangkit listrik mikro (microgrids).
Selain itu, diperlukan juga integrasi energi regional yakni dengan menghubungkan secara fisik jaringan distribusi energi Indonesia dengan yang ada di negara-negara Asia Tenggara lainnya, atau bahkan lebih luas lagi dengan negara-negara di Asia Timur, khususnya untuk jaringan kabel listrik, dan mengembangkan sistem kelistrikan satu pasar.
“Mengatasinya lebih cepat akan lebih bijaksana sehingga masalah ini tidak menghambat pembangunan ekonomi ke depan,” ujarnya.
Mariah Measey dalam laporannya berjudul “Indonesia: A Vulnerable Country in the Face of Climate Change” menyebutkan, Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Negara kita juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Indonesia menghadapi tantangan untuk membentuk strategi yang efektif dan tepat untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim dengan membangun ketahanan.
Tindakan harus dilakukan di semua tingkatan, dari nasional dan lokal hingga internasional. Meskipun Indonesia menandatangani Protokol Kyoto pada tahun 1997 dan meratifikasi doktrin tersebut pada tahun 2004, masih ada langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi perjuangan perubahan iklim (World Bank, 2007).
“Kebijakan dan perundang-undangan kehutanan Indonesia baik, namun pengesahan dan implementasi kebijakan ini harus menjadi lebih kuat,” sebutnya.
Saat ini, penegakan hukum oleh pemerintah sangat lemah. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia (1999), pemerintah harus mengambil langkah-langkah di masing-masing sektor berikut untuk memerangi dampaknya, dan dampak perubahan iklim yaitu sektor energi, pertanian, kehutanan, dan sumber daya pesisir.
Indonesia harus mendorong penggunaan dan pengembangan energi terbarukan energi, seperti melalui insentif pajak. Pemerintah juga harus mendorong masyarakat untuk menerapkan efisiensi dan konservasi energi melalui kampanye publik dan insentif ekonomi. Hal ini juga diperlukan untuk mendukung efisiensi dan penggunaan energi bersih untuk sektor komersial dan industri.
Sektor pertanian
Pemerintah harus fokus pada peningkatan teknologi dan transfer informasi kepada petani. Penting juga untuk memperkuat penelitian yang dilakukan pada pengembangan yang lebih berkelanjutan praktik pertanian. Pemerintah juga harus mengedepankan inovasi dan perbaikan praktik pertanian yang melepaskan paling sedikit gas rumah kaca ke atmosfer.
Sektor kehutanan
Salah satu langkah utama yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak perubahan iklim adalah mencegah terjadinya kebakaran hutan di daerah yang rawan bencana kebakaran sehingga harus menjadi perhatian utama negara. Pemerintah harus menyediakan tanah hibah ke universitas untuk penelitian kehutanan dan juga mengisi kembali hutan di pedesaan daerah dan penanaman kembali pohon di daerah perkotaan.
Wilayah pesisir
Wilayah ini sangat terpengaruh oleh perubahan iklim karena kenaikan permukaan laut. Karenanya pemerintah harus menyiapkan strategi adaptasi jangka panjang untuk efek ini.
Penting juga bagi pemerintah untuk menggalakkan rehabilitasi perencanaan dan pengelolaan terumbu karang, dan terus memperkuat pengelolaan sumber daya air untuk mendorong ketersediaan air jika terkontaminasi oleh bahan pencemar. (E03)
Ardhasena Sopaheluwakan, BMKG, climate change, Crawford School of Public Policy, dampak perubahan iklim, Energi Baru dan Terbarukan, Indonesia Research Institute for Decarbonization, Indonesia: A Vulnerable Country in the Face of Climate Change, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, Kuki Soejachmoen, Mariah Measey, perubahan iklim, Profesor Budy Resosudarmo, Protokol Kyoto, Sekolah Lapangan Iklim, sektor energi, tantangan energi, The Australian National University, transformasi sektor energi,