Lautan sudah tercemar parah oleh limbah dan sampah. Tapi tahukah kalian, seberapa parah pencemaran laut oleh sampah manusia? Bayangkan saja, begitu parahnya sampai gurita dan makhluk lainnya menjadikan sampah sebagai rumah mereka.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Marine Pollution Bulletin, para peneliti merangkum tinjauan sistematis berdasarkan foto dan video bawah air dari seluruh dunia. Studi ini mencatat sebanyak 24 spesies cephalopoda menjadikan sampah laut sebagai rumah mereka.
Selama bertahun-tahun, penyelam dan ilmuwan telah mengamati gurita bertelur di plastik atau alat tangkap yang ditinggalkan di laut. Beberapa makhluk ini bahkan ditemukan bersembunyi di botol kaca, pot keramik, pipa logam, kaleng berkarat, atau gelas plastik sebagai “cangkang” untuk melindungi tubuh mereka.
Dikutip dari Science Alert, para peneliti mencatat, cephalopoda dari berbagai usia telah dipaksa untuk beradaptasi atau binasa dengan kondisi pencemaran laut yang makin parah.
Gurita memang pintar dan beradaptasi dengan menjadikan sampah laut sebagai alternatif alat perlindungan mereka. Tetapi, bentuk adaptasi ini sebenarnya memprihatinkan. Para peneliti khawatir jika makhluk ini menjadi terlalu bergantung pada sampah manusia untuk berlindung.
“Efek positif yang tampak juga dapat memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan dan tidak langsung,” kata para peneliti studi yang dipimpin oleh ahli biologi kelautan dari Federal University of Rio Grande di Brasil.
Beberapa sampah, misalnya, dapat membuat gurita terpapar bahan kimia beracun atau logam berat. Terlihat pada salah satu foto yang dikumpulkan, seekor gurita menempel pada baterai yang sudah sangat lapuk. Tentu saja sampah ini masuk kategori berbahaya dan sangat mencemari. Tak hanya gurita, makhluk laut lainnya juga bisa terkena racun bahan kimia dari sampah. Makhluk-makhluk tak berdosa ini juga bisa terluka oleh sampah yang tajam.
Secara keseluruhan, penulis studi berhasil mengumpulkan 261 gambar dan video bawah air yang merekam gurita berinteraksi dengan limbah laut. Sebagian besar foto dan video dikumpulkan dari media sosial dan sudah mendapatkan izin dari pemilik aslinya, tetapi beberapa gambar dan video lain ada juga yang disumbang oleh ilmuwan dan lembaga penelitian kelautan.
Para peneliti menemukan catatan interaksi gurita dengan sampah laut makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan sebagian besar catatan terjadi antara tahun 2018 hingga 2021. Itu bisa jadi karena foto bawah air lebih mudah diambil sekarang daripada sebelumnya. Meski demikian, ini juga bisa menjadi tanda bahwa masalah sampah laut makin parah
“Terlepas dari deskripsi ini, beberapa penelitian berfokus pada interaksi antara gurita dan sampah laut, dan informasi ilmiah tentang hal ini hampir tidak diperbarui selama beberapa dekade terakhir,” kata para penulis.
Penelitian lebih lanjut diperlukan, tetapi tinjauan awal ini telah mengungkapkan beberapa hasil penting. Para penulis awalnya menduga plastik menjadi sampah yang paling umum digunakan gurita. Pada kenyataannya, lebih dari 40% interaksi gurita adalah dengan sampah botol kaca, dan ini sebagian besar digunakan untuk tempat berteduh.
Sampah bukan hanya mencemari lingkungan tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup tanaman dan satwa. Indonesia pernah dihebohkan oleh penemuan bangkai paus sperma (Physeter macrocephalus) di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November 2018.
Bangkai ikan yang punya nama lain paus kepala kotak itu kemudian dinekropsi. Hasilnya sungguh menyedihkan, karena dari dalam perutnya ditemukan ratusan sampah plastik berbagai jenis seberat total 5,9 kilogram.
Sampah-sampah yang berada di dalam perut paus itu di antaranya terdiri dari 1.000 potong tali rapia, gelas plastik bekas air minum dalam kemasan ukuran 350 mililiter (115 buah), dan kantung plastik (25 buah). Terdapat pula sepasang sandal jepit ditemukan di dalam perut bangkai paus sperma berukuran hampir 10 meter itu.
Masalah sampah laut pun menjadi perhatian pemerintah hingga dikeluarkannya Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Di dalam peraturan tersebut, terdapat rencana aksi nasional (RAN) penanganan sampah di laut pada 2018-2025.
Targetnya, sampah di laut, terutama sampah plastik tereduksi hingga 70% pada 2025. Salah satu upayanya adalah dengan mengaktifkan Kemitraan Aksi Plastik Nasional (National Plastic Action Partnership/NPAP). Kemitraan tersebut menjadi yang pertama di dunia dan menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi produksi sampah plastik.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, upaya mengurangi sampah plastik di laut harus dilakukan secara terintegrasi dalam lingkup nasional, regional, maupun global, terutama melalui pengurangan sampah yang berasal dari aktivitas yang ada di darat.
Indonesia saat ini diklaim sudah berada di jalur yang tepat dalam upaya mengurangi produksi sampah plastik di laut dengan memulainya dari darat. Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti mengatakan, melalui NPAP sudah terjadi reduksi sampah plastik di laut sebesar 11,2%. Pemerintah pun melibatkan swasta untuk penerapan NPAP lewat wadah Organisasi Pengelolaan Sampah Plastik (Plastic Recovery Organization/PRO).
Enam perusahaan besar Indonesia ikut bergabung, seperti PT Coca-Cola Indonesia, PT Danone Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, Tetra Pak Indonesia, dan PT Unilever Indonesia Tbk. Program yang dinaungi PRO berjalan di Surabaya (Jawa Timur) dan Bali sejak 2020.
Kerja sama itu berupa pengolahan bahan plastik yang berasal dari kemasan bekas dan memadukannya dengan bahan plastik baru yang akan dipakai untuk kemasan yang baru. Upaya tersebut menjadi bagian dari kepedulian industri dalam menyelesaikan persoalan sampah.
Membersihkan laut dari sampah memang bukan pekerjaan mudah dan jadi tugas kita bersama. Semoga saja segala upaya tersebut mampu mereduksi sampah di laut dan menjaga kelestarian biota di dalam laut dan sekitarnya. (E03)