Titik Temu
Sumber Energi Baru, Limbah Masker Diubah Jadi Baterai dan Bahan Bakar
Editorial Cast | 02.08.2022

Pandemi memunculkan masalah baru, yakni limbah medis terutama sampah masker sekali pakai. Sebelum sampah masker berdampakmakin parah pada lingkungan, para peneliti memikirkan cara untuk menanganinya. Salah satunya dengan mengubahnya menjadi sumber energi. 

Tim dari National University of Science and Technology “MISIS” (NUST “MISiS”) di Moskow, Rusia, bersama peneliti lainnya dari Amerika Serikat dan Meksiko, mengembangkan teknologi baru untuk memproduksi baterai hemat biaya dari limbah medis. 

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Energy Storage ini, teknologi yang mereka kembangkan dapat mengubah limbah yang sulit didaur ulang menjadi bahan baku untuk sumber energi. 

Para peneliti mengatakan bahwa selama pandemi virus Corona, orang-orang di seluruh dunia menggunakan lebih dari 130 miliar masker setiap bulan dan masker-masker tersebut berubah menjadi ratusan ton limbah polimer. 

Membuang masker bekas begitu saja, tak hanya mencemari lingkungan tetapi juga membahayakan. Jika dibakar pun, limbah masker akan mengeluarkan gas beracun, sehingga tugas daur ulang limbah ini sangat mendesak.

Tim peneliti telah mengembangkan teknologi baru untuk memproduksi baterai hemat biaya dari masker bekas. Teknologi ini memungkinkan produksi baterai tipis, fleksibel, murah yang juga sekali pakai, karena biayanya yang rendah. 

Baterai ini lebih unggul dalam beberapa hal dibandingkan baterai konvensional berlapis logam yang lebih berat, yang membutuhkan lebih banyak biaya produksi. Baterai jenis baru ini juga dapat digunakan pada peralatan rumah tangga mulai dari jam hingga lampu. 

Pembuatan baterai

Untuk membuat baterai tipe superkapasitor, hal yang pertama dilakukan adalah mendesinfeksi masker dengan ultrasound, kemudian mencelupkannya ke dalam ‘tinta’ yang terbuat dari graphene, dan merendam masker. 

Lalu, bahan ditekan di bawah tekanan dan dipanaskan hingga 140 derajat Celcius. Untuk diketahui, baterai superkapasitor konvensional membutuhkan suhu yang sangat tinggi untuk pirolisis-karbonasi, hingga 1000-1300 derajat Celcius. Dengan teknologi baru ini, proses pirolisisnya mengurangi konsumsi energi secara signifikan. 

Pirolisis merupakan proses pemanasan tanpa adanya oksigen di dalam ruangan tertutup yang akan mengubah bahan baku menjadi produk cairan dan padatan. 

“Pemisah yang juga terbuat dari bahan masker, dengan sifat isolasinya kemudian ditempatkan di antara dua elektroda yang terbuat dari bahan baru tersebut. Bahan ini dicelupkan dengan elektrolit khusus, kemudian cangkang pelindung dibuat dari bahan kemasan blister obat,” kata Profesor Anvar Zakhidov, direktur ilmiah dari proyek infrastruktur Perangkat Berkinerja Tinggi, Fleksibel, Fotovoltaik Berbasis Perovskites Hibrida di NUST MISiS. 

Dibandingkan dengan akumulator tradisional, baterai baru ini memiliki kepadatan energi yang tersimpan dan kapasitas listrik yang tinggi. Sebelumnya, baterai pelet yang dibuat menggunakan teknologi serupa memiliki kapasitas 10 watt-jam per 1 kg. Namun, para ilmuwan di NUST MISIS dan rekan mereka berhasil mencapai 98 watt-jam/kg.

Ketika para ilmuwan memutuskan untuk menambahkan nanopartikel perovskit anorganik jenis CaCo oksida ke elektroda yang diperoleh dari masker, kapasitas energi baterai semakin meningkat (208 watt-jam/kg). Mereka telah mencapai kapasitas listrik tinggi 1706 farad per gram. Ini, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas elektroda karbonisasi terbaik tanpa penambahan graphene (1000 farad per gram).

Sebelumnya, para ilmuwan sudah mencoba menggunakan berbagai bahan alami berpori dan produk limbah untuk membuat elektroda untuk superkapasitor. Bahan yang digunakan antara lain batok kelapa, sekam padi, dan baru-baru ini bahkan limbah koran, limbah ban mobil, dan lain-lain. 

Namun, mengolah bahan-bahan ini selalu membutuhkan anil (pembakaran) suhu tinggi di tungku khusus. Dan ternyata, masker menjadi bahan yang lebih mudah dan lebih murah untuk diproses, karena rendaman graphene cukup memberi mereka sifat yang unik.

Di masa depan, tim ilmiah berencana untuk menerapkan teknologi baru ini untuk produksi baterai mobil listrik, pembangkit listrik tenaga surya, dan aplikasi lainnya.

Jadi bahan bakar

Hampir serupa dengan penelitian di atas, di Indonesia pun berbagai upaya pengolahan limbah masker pun mulai dipikirkan. Salah satunya seperti yang dilakukan tim mahasiswa Teknik Kimia Universitas Islam Indonesia (UII). 

Mereka mencoba memanfaatkan limbah masker untuk dijadikan bahan bakar alternatif. Sebelum diproses, limbah masker didisinfeksi untuk menghilangkan virus atau bakteri yang menempel pada masker. Proses ini dilakukan dengan penyemprotan disinfektan ke limbah masker. 

Kemudian, limbah masker diproses di dalam tabung reaktor pirolisis. Saat ini, tabung reaktor pirolisis yang digunakan mempunyai volume 5 liter dan mampu menampung limbah masker sebanyak 1 kilogram. 

“Nilai konversinya sekitar 50% hingga 60%, artinya satu kilogram masker kita dapatkan 500 hingga 600 mililiter bio oil,” kata salah satu anggota tim, Guntur Marthabaya

Hasil uji laboratorium dari bio oil yang dihasilkan setara dengan minyak tanah. Saat ini, bahan tersebut masih dikembangkan untuk menjadikan bio oil hasil pirolisis masker medis menjadi bahan bakar minyak untuk kendaraan. (E03)