Titik Temu
Smart Traffic Management untuk Tingkatkan Kualitas Udara di Kota
Editorial Cast | 04.07.2022

Polusi udara yang dihasilkan dari lalu lintas kendaraan bermotor ikut memengaruhi kondisi hidup dan kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian yang dilakukan di Eropa oleh Universitat Politècnica de València di Valencia, Spanyol, pada 2015 menemukan adanya kaitan antara emisi gas buang kendaraan bermotor yang ternyata berakibat pada kematian dini. 

Salah satu penyebab utama polusi lalu lintas di kota-kota seluruh dunia adalah kemacetan. Kendaraan bermotor yang menyala dan berhenti pada satu titik diketahui dapat meningkatkan konsentrasi emisi berbahaya di sekitarnya. Nah bisa dibayangkan, jika ada banyak kendaraan yang berhenti karena kemacetan, maka konsentrasi emisi yang ada di sekitarnya akan lebih berbahaya. 

Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut, sejumlah penelitian dan implementasi kebijakan publik terus digalakkan di sejumlah negara untuk bisa mengurangi emisi kendaraan bermotor. Salah satu contohnya adalah kebijakan di Uni Eropa yang bertujuan mengurangi dampak dari polusi udara hingga setidaknya 55% pada 2030 di sejumlah wilayah. 

Dalam rencananya, Uni Eropa tidak hanya berupaya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, tapi juga membatasi emisi partikulat dari semua pembakaran jenis mesin, baik dari kendaraan konvesional hingga kendaraan listrik rendah emisi. Mereka juga berencana mengubah lebih banyak ruang kota menjadi ruang hijau untuk meningkatkan kesehatan maupun kesejahteraan mental penduduk.

Studi di Eropa

Dalam lingkup yang lebih kecil, sejumlah peneliti di Universitat Politècnica de València melakukan studi lebih lanjut tentang pemanfaatan Smart Traffic Management untuk meningkatkan kualitas udara di kota Valencia. Sebagai informasi, Valencia menempati peringkat keempat di Spanyol dalam hal kemacetan lalu lintas. 

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah daerah setempat lantas memperkenalkan sebuah Rencana Mobilitas Perkotaan Berkelanjutan yang mengatur pergerakan kendaraan pribadi, pejalan kaki, angkutan umum, hingga pengendara sepeda. Nah, para peneliti dari Universitat Politècnica de València ini melakukan studi lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut. 

Melalui studi ini, para peneliti fokus pada area di sekitar ruang rekreasi dan ruang hijau utama yang digunakan penduduk segala usia. Sebagian besar ruang hijau tersebut terkonsentrasi di sekitar dasar sungai tua, yang telah diubah menjadi ruang rekreasi terbuka terbesar di kota Valencia. Namun, kendaraan bermotor juga masih dimungkinkan untuk melewati area tersebut. 

Oleh sebab itu, studi ini ditujukan untuk memastikan kondisi udara di sekitar wilayah ruang hijau tersebut tetap bersih dan tidak terlalu terdampak dari emisi kendaraan bermotor. Kemudian, para peneliti mengajukan dua pendekatan berbeda mengenai arus pergerakan pengendara kendaraan bermotor di wilayah tersebut. 

Pendekatan pertama yang diajukan adalah pembatasan semua arus lalu lintas di jalan-jalan sekitar ruang terbuka hijau, sedangkan pendekatan lain adalah memungkinkan adanya arus lalu lintas di wilayah tersebut, tapi dilakukan di beberapa titik saja. Pendekatan kedua ini ditawarkan agar tetap bisa mengendalikan emisi, tapi sekaligus menghindari kemacetan di wilayah lain apabila ruang hijau tidak dapat dilewati kendaraan bermotor.

Dalam studi ini, para peneliti menggunakan server rute yang telah dipatenkan, yakni Automatic Balancing of Traffic Through the Integration of Smartphones (ABATIS) untuk mencoba dua pendekatan yang mereka tawarkan. Dengan server ini, mereka melakukan beragam simulasi untuk melihat arus lalu lintas yang diatur secara terpusat, lalu melakukan analisa terhadap pendekatan yang mereka tawarkan. ABATIS sendiri merupakan server yang dapat membantu mengatur arus lalu lintas di kota secara terpusat dan lebih efisien. 

Temukan titik keseimbangan

Melalui beragam simulasi tersebut, para peneliti ingin menemukan keseimbangan optimal antara meminimalkan dampak lingkungan, tapi tetap mempertahankan waktu tempuh para pengendara, sekaligus menghindari kemacetan yang tidak perlu.  

Hasilnya, setelah melakukan studi yang cukup panjang, para peneliti menunjukkan pembatasan yang tidak terlalu ketat ternyata bisa memberikan keseimbangan yang memadai. Jadi, langkah ini dapat mengurangi polusi udara dari emisi kendaraan sekaligus menghindari waktu tempuh yang lebih lama bagi pengendara kendaraan. 

Kendati demikian, para peneliti menyebut mereka masih perlu melakukan studi lebih lanjut untuk bisa meningkatkan kemampuan algoritma yang dikembangkan, sekaligus mempelajari dampak kemacetan di situasi yang berbeda. Meski masih perlu dikembangkan, studi ini setidaknya bisa memberikan gambaran bahwa manajemen lalu lintas yang pintar, bisa mengurangi kemacetan sekaligus dampak polusi udara kendaraan bermotor. (E04)

Kondisi di Indonesia

Di sisi lain, di Indonesia sendiri, polusi udara juga menjadi salah satu persoalan yang masih dihadapi. Berdasarkan laporan kualitas udara dari IOAir 2021, Indonesia menempati peringkat 17 sebagai negara dengan polusi udara terburuk di dunia. 

Berdasarkan laporan itu, Indoneisa memiliki konsentrasi PM2,5 tertinggi, yakni 34,3 g/m³. Sementara untuk wilayah Asia Tenggara, Indonesdia menjadi negara nomor satu dengan tingkat polusi paling tinggi. 

Kendati demikian, laporan ini menunjukkan kualitas udara Indonesia secara keseluruhan membaik, apabila dibandingkan dari data 2020 yang menunjukkan konsentrasi PM 2,5 mencapai 40,7 g/m³. 

Adapun untuk kategori ibu kota, Jakarta berada di peringkat ke-12 dengan rata-rata konsentrasi PM2,5 tertinggi 39,2 g/m³. Angka ini turun tipis dari rata-rata tahun sebelumnya, di angka 39,6 g/m³.

Laporan tersebut jelas mengindikasikan butuh regulasi tegas dalam mengatur konsentrasi polusi udara yang terjadi di Indonesia. Sejumlah regulasi pun sebenarnya sudah ada, tapi tetap dibutuhkan kesadaran dan ketegasan dalam penerapannya. 

Kita sendiri sebenarnya bisa ikut berkontribusi dalam mengurangi polusi udara lewat sejumlah hal kecil, seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor saat menuju lokasi yang dekat dengan tempat tinggal. Sebagai gantinya, kita bisa berjalan kaki atau naik sepeda. 

Hal lain yang tidak kalah penting adalah mulai memanfaatkan transportasi umum secara optimal. Dengan transportasi umum, selain berpengaruh pada polusi udara yang dihasilkan, kepadatan lalu lintas juga bisa berkurang dan bisa meningkatkan efisiensi waktu tempuh, terutama di kota besar. 

Sementara untuk di sekitar rumah, kita bisa mencoba untuk menanam lebih banyak tanaman. Seperti diketahui, tanaman akan melepaskan oksigen dan menghirup karbon dioksida. Karenanya, dengan kehadiran lebih banyak tanaman, kondisi udara di sekitar hunian akan lebih segar dan bersih. 

Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah membatasi penggunaan listrik. Sebab, tenaga listrik di Indonesia kebanyakan masih dihasilkan dari pembangkit listrik yang memakain bahan bakar fosil, sehingga menghasilkan asap dan polusi. 

Untuk itu, pembatasan pemakaian listrik setidaknya bisa mengurangi emisi pembangkit listrik. Sebagai alternatif, kita juga bisa memanfaatkan pembangkit listrik yang memanfaatkan panel surya untuk memenuhi sejumlah kebutuhan dasar di rumah. (E04)