Titik Temu
Seniman dan Karya Seni Juga Perlu Ramah Lingkungan, Yuk Berkenalan dengan Mereka!
Editorial Cast | 07.13.2022

Dibandingkan dengan “industri budaya” yang jauh lebih besar seperti mode dan hiburan, peran dunia seni dalam masalah lingkungan seperti perubahan iklim relatif kecil. Namun, galeri, rumah lelang, pameran, kolektor, institusi, dan seniman sendiri kini makin berkomitmen pada praktik bisnis yang lebih berkelanjutan untuk membantu memerangi pemanasan global. 

Topik tersebut termasuk di antara yang dibahas oleh pembicara pada konferensi Art for Tomorrow baru-baru ini di Athena. 

“Dunia seni mungkin relatif kecil, tetapi itu tidak berarti kita tidak boleh berkelanjutan,” kata Heath Lowndes, salah satu pendiri Gallery Climate Coalition, organisasi yang merancang pedoman bagi institusi seni untuk meningkatkan keberlanjutan. 

“Kita memiliki kesempatan untuk menetapkan standar tanggung jawab lingkungan dengan potensi untuk mempengaruhi dan menjangkau khalayak yang besar,” sambungnya. 

Baru berusia dua tahun, Gallery Climate Coalition sekarang memiliki lebih dari 800 anggota dari seluruh sektor seni yang berkomitmen pada misinya untuk mengurangi emisi karbon, setidaknya 50% pada tahun 2030, sejalan dengan Kesepakatan Iklim Paris (Paris Agreement).

Waktu untuk kesadaran lingkungan yang meningkat ini adalah waktu yang tepat. Tahun ini, untuk pertama kalinya, isu-isu seputar keberlanjutan berada di antara 10 perhatian teratas untuk “High Net-Worth Collectors” yang disurvei sebagai bagian dari Art Basel/UBS Art Market Report.

Sekitar 70% kolektor, misalnya, sekarang memikirkan “opsi keberlanjutan” saat membeli karya seni atau mengelola koleksi mereka. Sebanyak 64% prihatin dengan mengurangi perjalanan pribadi mereka ke acara yang berhubungan dengan seni, dan 68% terbuka untuk menggunakan metode pengiriman yang lebih sadar lingkungan saat mengirimkan karya seni.

Para seniman berkelanjutan 

Ada banyak seniman yang secara aktif menciptakan karya yang mempromosikan keberlanjutan, mulai dari menggunakan benda-benda yang didaur ulang, hingga mengontekstualisasikan kembali bahan-bahan yang ada, hingga menggunakan potongan-potongan barang tidak dipakai. Beberapa di antaranya ada juga dari Indonesia. Ini dia karya-karya mereka. 

1. Choi Jeong Hwa 

Choi Jeong Hwa adalah seorang seniman pop asal Korea yang terkenal karena menggunakan bahan daur ulang, membuat patung kecil hingga instalasi skala besar dengan bahan seperti spanduk tua dan wadah plastik komersial.

Karyanya memaksa pemirsa untuk berpikir tentang konsumsi dan produksi massal. Ia bahkan mengundang pemirsa untuk menyentuh, menelusuri, dan terlibat dengan karya-karyanya. Sejak 1990-an, Choi telah mengeksplorasi hubungan antara sesuatu yang bersifat buatan dan alam. 

“Plastik dibuat oleh Matahari, Bumi, dan manusia. Apa yang dibuat manusia dibuat oleh alam. Ini juga dapat dilihat sebagai ‘sifat ke-2’, karena plastik adalah senyawa sintetis dari karet dan minyak,” ujarnya memberi contoh. 

Tak hanya membuat karya yang berkelanjutan dengan bahan daur ulang dan tidak dapat terurai, Choi mempertanyakan bahan tersebut dan bagaimana bahan tersebut ditolak oleh alam.

2. Pannaphan Yodmanee

Pannaphan Yodmanee menggabungkan berbagai bahan mulai dari benda yang ditemukan hingga elemen organik untuk menciptakan karya yang mengingatkan seni dan arsitektur tradisional Thailand. 

Bebatuan, mineral, dan reruntuhan beton dilukis dan direkonstruksi menjadi bentuk abstrak yang indah. Karya-karya ini berusaha mengeksplorasi tema-tema seputar filsafat dan kosmologi Buddhis, fenomena alam waktu, kehilangan, kehancuran dan kematian, dan hubungan Karma saat kita dilahirkan dan dilahirkan kembali, memaksa pemirsa untuk berpikir tentang perubahan dan perjalanan hidup.

3. Hiroyuki Nishimura 

Seorang pematung Jepang, Hiroyuki Nishimura menggunakan kayu yang biasanya dibuang karena tidak dapat digunakan. Balok kayu yang tidak cocok untuk furnitur atau penggunaan arsitektur, diukir menjadi patung unik, membuat potongan eksentrik yang membuat orang tidak menyangka ini terbuat dari kayu buangan.

Semua karyanya hadir dengan suasana unik, seolah-olah muncul dari mimpi surealis dan memiliki kekuatan untuk mengubah ruang netral apa pun menjadi ruang eklektik, penuh dengan karakter dan kepribadian.

4. Yudi Sulistyo 

Sebelum menjadi seniman, Yudi Sulistyo bekerja di sebuah perusahaan periklanan tempat ia menemukan sisa-sisa kardus bekas. Kreativitasnya dimulai setelahnya, yakni membuat patung robot dan bahkan tank militer seukuran aslinya dari bahan tersebut. 

Selain itu, ia mengintegrasikannya dengan benda-benda rumah tangga biasa seperti tutup botol dan kotak korek api. Sebagai seorang seniman otodidak, Sulistyo meneliti sendiri struktur asli kendaraan dan benda-benda mekanis dan membuat iterasinya dari karton berdasarkan bentuk aslinya. Lalu dengan terampil ia melapisi karton dengan cat. Karyanya menipu mata banyak orang karena terlihat seperti kendaraan sungguhan.

5. Utami Atasia Ishii

Utami Atasia Ishii bukan hanya suka mencocol makanannya dengan sambal, dia sampai mendedikasikan diri membuat karya seni dengan medium sambal. 

“Bagi saya, sambal merupakan makanan tradisional Indonesia yang wajib ada setiap saya makan makanan Indonesia khususnya. Karena memang pada dasarnya saya suka makanan pedas,” kata Tami. 

Pada karyanya yang dipamerkan di MAG21, Tami meracik dengan apik 10 jenis sambal menjadi karya seni yang memanjakan visual dan indra pendengaran. Dalam melahirkan karya ini, Tami menggunakan instalasi mikroskop, kaca preparat untuk meneliti sambal, serta software musik untuk membuat sound art.

Selain memperkenalkan sambal kepada dunia, melalui karyanya, perempuan berdarah Indonesia-Jepang itu ingin menyampaikan pada para apresiator bahwa hubungan antara apa yang kita lihat, rasakan, dan ketahui, tidak akan pernah pasti. Menurutnya, cara pandang kita dipengaruhi oleh apa yang kita ketahui atau percaya. (E03)