Pandemi tidak menyurutkan pengembangan inovasi anak bangsa. Indonesia melalui Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), sebelum digabung bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sempat membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19. Sesuai namanya, konsorsium ini mengoordinasikan sejumlah pihak, mulai dari kementerian dan lembaga pemerintah, rumah sakit, perguruan tinggi, serta industri.
Sejak Maret 2020, Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 mengembangkan inovasi untuk menjawab kebutuhan masyarakat selama pandemi, baik berupa kajian maupun produk. Adapun salah satu pengembangan yang dilakukan di konsorsium ini ada di bidang skrining atau deteksi.
Selama satu tahun terakhir, peneliti berusaha untuk mengembangkan teknologi pendeteksian COVID-19 yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Salah satu yang berhasil adalah Rapid Test RI-GHA.
Rapid test non-PCR ini bekerja dengan cara mendeteksi antibodi IgG/IgM. Mengingat proses deteksinya relatif cepat, tes jenis ini bermanfaat untuk skrining awal, sebelum pasien ditindaklanjuti dengan tes PCR. Alat ini dikembangkan berdasarkan susunan marka gen khas virus COVID-19 origin orang Indonesia, sehingga hasil yang didapat lebih sensitif dan spesifik.
Selain itu, ada juga Rapid Test CePAD yang dikembangkan oleh akademisi dari Univesitas Padjajaran. Alat tes ini disebut memiliki sensitivitas 85% dan spesifitas sebesar 83% hingga 84%. Alat ini pun dapat dimanfaatkan untuk skrining COVID-19, terutama di tempat dengan mobilitas penduduk yang relatif tinggi.
Ada pula alat deteksi COVID-19 RT-Lamp (reverse transcription loop mediated isothermal amplification). Alat tes yang dikembangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini digunakan sebagai metode alternatif deteksi virus menggunakan RT-PCR. Metode RT-LAMP sendiri disebut mampu mendeteksi adanya virus dalam waktu kurang lebih satu jam.
Kit RT-LAMP yang dikembangkan ini terdiri dari enzim (reverse transcriptase, polymerase), reagent mix (Primer, dNTP, MgSO4), larutan buffer, kontrol positif, dan kontrol negatif. Sementara sampel pasien yang digunakan adalah ekstrak RNA pasien.
Inovasi lain yang juga dihadirkan adalah GeNose C19. Alat karya akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memanfaatkan embusan nafas untuk mendeteksi keberadaan virus. Alat ini disebut hadir dengan sejumlah keunggulan, seperti kemudahan dalam pengambilan sampel, kecepatan hasil, dan biaya yang terbilang murah.
Saat GeNose C19 diperkenalkan, mantan Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro mengatakan bawah alat ini merupakan alat skrining cepat, bukan alat diagnosa. GeNose C19 memiliki sensitivitas 92% dan tingkat spesifitas 95%.
Terakhir, ada i-nose c-19 yang dikembangkan oleh akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Alat skrining ini menjadi yang pertama di dunia yang menggunakan bau keringat ketiak (axillary sweat odor) untuk mengetahui apakah seseorang positif COVID-19.
I-nose c-19 bekerja dengan mengambil sampel bau keringat ketiak seseorang dan memrosesnya menggunakan kecerdasan buatan. Keringat dipilih karena bersifat non-infeksius, yang berarti limbah maupun udara buangan i-nose c-19 tidak mengandung virus COVID-19. (E04)