Bagi manusia modern, plastik sudah menjadi material umum yang dibutuhkan dan bisa ditemukan di kehidupan sehari-hari. Plastik banyak dipakai untuk berbagai kebutuhan, seperti kemasan baik pangan maupun non-pangan, serta sebagai material untuk membuat berbagai benda dan peralatan.
Plastik banyak digunakan karena produksinya terbilang murah. Ditambah lagi, plastik merupakan material yang tahan lama dan tahan air, serta mudah dibentuk dan ringan, sehingga bisa dibuat menjadi berbagai benda.
Namun yang menjadi persoalan, makin banyaknya produksi benda berbahan plastik berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah sampah plastik di dunia. Sekarang, sampah plastik telah menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi sejumlah negara.
Salah satu yang paling terdampak oleh sampah plastik adalah adalah sumber daya alam dan ekosistem di lautan, karena sampah plastik kini banyak ditemukan di lautan.
Kandungan mikroplastik dan sampah plastik yang sulit terurai akan menimbulkan masalah kesehatan di lingkungan laut. Selain itu, sampah plastik yang sulit terurai juga merusak rantai makanan dan mengganggu kehidupan makhluk hidup, termasuk plankton sebagai organisme terkecil di laut.
Data National Oceanographic and Atmospheric Administration juga mencatat jutaan burung dan ikan serta ratusan ribu mamalia mati akibat sampah plastik.
Dengan kondisi tersebut, upaya untuk mengembangkan plastik yang lebih ramah lingkungan atau dapat didaur ulang terus dilakukan sejumlah peneliti. Salah satunya dilakukan oleh peneliti dari University of Birmingham, Inggris, dan Duke University, Amerika Serikat.
Peneliti dari kedua universitas itu berhasil menciptakan keluarga polimer baru dari bahan-bahan yang berkelanjutan dengan tetap mempertahankan semua kualitas dari plastik biasa. Namun tidak hanya itu, polimer baru ini dapat terurai dan bisa didaur ulang.
Para peneliti tersebut menggunakan bahan awal yang berbasis gula sebagai turunan produk petrokimia (petrochemical) untuk membuat dua polimer baru. Satu polimer dapat diregangkan seperti karet, sedangkan polimer lain memiliki sifat keras tapi elastis, sama seperti plastik biasa.
Polimer baru ini dibuat menggunakan isoidida dan isomannida sebagai bahan penyusunnya. Kedua senyawa itu terbuat dari gula alkohol dan memiliki cincin atom yang kaku. Para peneliti menemukan polimer berbasis isoidida menunjukkan kekakuan dan kelenturan seperti plastik biasa, termasuk plastik rekayasa kelas tinggi seperti Nylon-6.
Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa bahan berbasis isomannida memiliki kekuatan dan ketangguhan yang sama, tapi tetap menunjukkan elastisitas tinggi. Bahkan, bahan tersebut mampu mempertahankan sifat mekaniknya setelah penghancuran dan pemrosesan termal yang merupakan metode biasa dalam proses daur ulang plastik.
Dalam pengembangan ini, peneliti juga menemukan mereka dapat mengontrol sifat mekanik dan tingkat degradasi masing-masing bahan dengan membuat kopolimer yang terdiri dari isoidida dan isomannida. Kesamaan kimia dari polimer ini juga memungkinkannya dicampur untuk menghasilkan sifat yang sebanding atau lebih baik dari material plastik biasa.
Professor Andrew Dove yang berasal dari Birmingham University dan memimpin penelitian ini menyebut, studi yang mereka lakukan menunjukkan apa yang mungkin bisa dilakukan dengan bahan plastik berkelanjutan.
Meski begitu, Dove tidak memungkiri masih perlu dilakukan riset lebih lanjut untuk mengetahui dampak dari material baru ini, sekaligus cara untuk mengurangi biaya produksinya. Namun dalam jangka panjang, para peneliti berharap material ini dapat menggantikan plastik dari petrokimia yang tidak dapat terurai di lingkungan.
Saat ini, permohonan paten bersama (joint patent) untuk material baru ini tengah diajukan University of Birmingham Enterprise dan Duke University. Para peneliti kini juga tengah mencari mitra industri yang tertarik melisensikan polimer baru ini. (E04)