Bumi menanggung beban begitu berat untuk memberi makan populasi manusia yang saat ini mencapai 8 miliar orang. Para ahli memprediksi, manusia mungkin tidak akan punya banyak pilihan selain menjadikan serangga seperti jangkrik hingga kecoak sebagai makanan di masa depan.
Organisasi Pangan dan Pertanian dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), pada 2015 merilis laporan yang menjelaskan serangga adalah makanan potensial manusia di masa depan.
Makhluk ini, meski mungkin menjijikkan bagi sebagian orang, ternyata memiliki keuntungan lebih dibandingkan sumber makanan lain. FAO bahkan sudah punya nama untuk aturan memakan serangga, yakni “Entomophagy“, dan meminta agar aturan ini segera dipopulerkan.
Serangga ternyata merupakan sumber protein yang dapat memberikan nutrisi setara daging. Serangga yang dapat dimakan memiliki kandungan protein tinggi, antioksidan, vitamin, lemak, kalsium, dan nutrisi lainnya. Selain bernutrisi, sumber protein yang satu ini pun terbilang murah.
Studi yang dilakukan oleh Dennis Oonincx, seorang entomolog dari Wageningen University di Belanda, yang dilakukan pada 2010, menyatakan bahwa biaya beternak serangga lebih murah dibandingkan ternak lain seperti sapi dan kambing. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa budidaya serangga secara komersial dapat mengurangi emisi dan menghemat penggunaan air jauh lebih rendah daripada ternak hewan yang membutuhkan lahan luas.
Budidaya serangga juga dinilai jauh lebih ramah lingkungan. Pasalnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa daging tak hanya berisiko bagi kesehatan, tetapi juga Bumi, karena peternakan dalam skala besar bisa menghancurkan habitat dan menghasilkan gas rumah kaca. Peternakan hewan berkontribusi terhadap pemanasan global karena metana, nitrous oxide dan emisi karbon dari ternak dan rantai pasokannya.
Langkah yang dilakukan para peneliti di Wales, Inggris, mungkin bisa ditiru banyak pihak di masa depan. Mereka memperkenalkan serangga seperti jangkrik dan ulat kepada anak-anak berusia antara 5-11 tahun di empat sekolah dasar di Wales sebagai santapan.
Proyek yang dipimpin oleh akademisi dari Cardiff University dan University of the West of England (UWE Bristol), ini juga melibatkan survei terhadap anak-anak sekolah dasar untuk mengetahui respons mereka terhadap masalah lingkungan, dan bagaimana mereka menerjemahkannya ke dalam pandangan tentang makanan yang mereka makan.
Lewat upaya tersebut, mereka ingin menemukan cara terbaik untuk mendidik generasi muda dan keluarga mereka tentang manfaat serangga pada lingkungan, dan nutrisi dari serangga yang dapat dimakan, hingga akhirnya bisa membantu mengurangi konsumsi daging secara global.
Sebagai bagian dari penelitian, mereka mengajak anak-anak mencicipi produk makanan yang mengandung jangkrik dan ulat, termasuk produk bernama VEXo, makanan yang mengandung protein nabati dan serangga, yang dikemas dalam rupa seperti daging cincang konvensional dan disajikan seperti spageti bolognese.
Bagi sebagian orang, Entomophagy mungkin terdengar aneh. Namun, konsumsi serangga sebagai makanan umum dilakukan di beberapa wilayah dunia, terutama di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Masing-masing wilayah ini, memiliki kearifan lokal makanan serangga.
Di Afrika Selatan misalnya, ulat mopani dan rayap menjadi penganan yang populer. Begitu juga di Jepang, serangga air di sana menjadi makanan yang khas, bahkan dikemas dengan tampilan menarik.
China yang terkenal dengan kuliner ekstremnya, punya beberapa daerah yang menyediakan makanan dari kalajengking dan larva. Kalajengking dan larva biasanya digoreng atau dibuat sate.
Thailand punya banyak peternakan serangga komersial. Krisis keuangan Asia pada 1997 mempercepat munculnya peternakan serangga komersial di negaranya. Tidak ada hambatan budaya dalam mengkonsumsi serangga, karena Thailand telah memiliki tradisi itu sejak lama. Jangkrik, belalang, dan berbagai jenis cacing dianggap sebagai camilan favorit di negara ini.
Sedangkan di Vietnam dan Kamboja, mereka punya bermacam makanan berbahan dasar tarantula, yang diolah menjadi isian burger, dipanggang, digoreng kering, hingga disajikan seperti sate.
Bagaimana dengan di Indonesia? Masyarakat Papua sudah memiliki kebiasaan mengkonsumsi ulat sagu, bahkan dalam keadaan mentah. Kemudian di beberapa daerah di Pulau Jawa, serangga biasa dijadikan bermacam masakan.
Di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, belalang diolah dengan aneka bumbu penyedap lalu digoreng hingga kering. Tak hanya belalang, jangkrik juga kerap diolah menjadi camilan bercita rasa gurih.
Selain itu, di beberapa daerah lainnya di Indonesia, ada juga yang menyantap laron. Serangga ini sering diolah menjadi peyek, gorengan hingga oseng-oseng laron.
Sedangkan di Banyuwangi dan Madiun, ada salah satu hidangan berbahan tawon yang populer, yaitu botok tawon. Hidangan ini memiliki cita rasa gurih dengan tekstur yang sedikit renyah.
Mungkin sepertinya hanya tinggal tunggu waktu sampai jenis diet ini bisa populer di kalangan masyarakat luas. Kalian sudah pernah mencoba menyantap serangga? (E03)