Indonesia berkomitmen melakukan sejumlah upaya untuk bisa menurunkan emisi, termasuk mencapai net zero emission (NZE) atau netralitas karbon pada tahun 2060. Sebagai target awal, sektor energi Indonesia berencana menurunkan emisi sebesar 314-446 juta ton CO2 pada 2030.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan, salah satu upaya yang dilakukan Indonesia adalah mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) secara masif, sekaligus mengurangi pemanfaatan energi fosil secara bertahap.
“Transisi energi dapat dicapai dengan EBT masif yang tersebar, pengurangan pemanfaatan fosil bertahap, kemudian mendorong penggunaan elektrifikasi baik untuk kendaraan bermotor maupun peralatan rumah tangga, serta penerapan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan,” kata Dadan dalam webinar bertajuk Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery yang merupakan bagian dari Katadata Indonesia Data and Economic Conference 2022.
Ia menambahkan, dalam upaya mewujudkan komitmen ini, Indonesia juga membutuhkan peran global, karena investasi yang dibutuhkan sangat besar, mencapai 1.042 miliar dollar AS hingga 2060. Kementerian ESDM memperhitungkan seluruh operasi pembangkit PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) akan berakhir pada 2056 dan kebutuhan pembangkit EBT pada 2060 mencapai 587GW.
Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk penerapan carbon tax atau pajak karbon pada PLTU batubara mulai 1 Juli 2022. Tata laksana pajak ini menggunakan mekanisme cap and tax, serta dikenakan pada PLTU yang melampaui batas emisi yang ditetapkan.
Nantinya, apabila pajak karbon ini sudah diterapkan, penerimaannya diharapkan bisa bermanfaat untuk menambah dana pembangunan. Tidak hanya itu, penerimaannya bisa dipakai untuk investasi teknologi ramah lingkungan, termasuk memberi dukungan pada masyarakat dengan pendapatan rendah.
Senior Associate Lead Energy Taxation International Institute for Sustainable Development Tara Laan, berpendapat kebijakan ini sekaligus menjadi sinyal bagi para investor tentang kebijakan iklim Pemerintah Indonesia. Penerapan pajak ini juga diharapkan bisa mendorong perusahaan beralih ke penerapan teknologi energi bersih.
Selain itu, Tara menuturkan, pajak karbon juga bisa dipakai untuk membiayai beragam kebijakan transisi energi yang akan diterapkan di Indonesia, seperti membuat harga energi tetap terjangkau. Lalu, penerimaan dari pajak ini dapat pula dimanfaatkan untuk investasi infrastruktur energi bersih.
Selain Indonesia, negara lain yang juga menerapkan regulasi serupa adalah Jerman. Dalam kesempatan sama, Deputy Head Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action of Germany Malin Ahlberg menyampaikan bahwa meski tidak sama persis, Jerman juga telah menerapkan pajak karbon. Penerapan pajak karbon di Jerman diberikan pada sektor transportasi dan pemanas pada bangunan.
Malin menuturkan, skema pajak ini sudah efektif berlaku sejak 2021 di Jerman. Kedua sektor itu dipilih, karena transportasi dan pemanas pada bangunan meliputi lebih dari 80 persen emisi gas rumah kaca di negara tersebut.
Mengenai perbedaan ini, ekonom senior di National Treasury of South Africa Memory Machingambi menuturkan, penerapan pajak karbon memang bisa berbeda di tiap negara. Namun satu hal yang pasti, kebijakan ini merupakan mekanisme untuk bisa mengubah gaya bisnis dan penerapan konsumsi energi di masing-masing negara. (E04)
carbon tax, Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery, Dadan Kusdiana, Deputy Head Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action of Germany, EBT, energi baru terbarukan, Indonesia Data and Economic Conference 2022, International Institute for Sustainable Development, Kementerian ESDM, Malin Ahlberg, Memory Machingambi, National Treasury of South Africa, Pembangkit Listrik Tenaga Uap, PLTU, Tara Laan,