Perlindungan dan pelestarian lahan gambut sangat penting. Pasalnya, lahan gambut adalah salah satu kunci tercapainya target pemerintah memangkas emisi karbon di udara.
Dalam webinar Road to Net Zero: Energy, Forest, and Ocean, Program Director Coaction Indonesia (alternatif IESR) Verena Puspawardhani mengingatkan agar target memangkas energi sebaiknya jangan hanya dari sisi energi.
“Kita jangan hanya memangkas emisi dari sisi energi saja. Jadi, harus ada sektor lain yang dikejar agar target penurunan emisi di Indonesia segera tercapai,” ujarnya.
Sektor lain yang dikejar salah satunya restorasi lahan gambut. Namun, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, menyoroti kinerja pemerintah yang dinilainya belum optimal merestorasi lahan gambut.
“Kami berharap moratorium perkebunan sawit menjadi satu faktor penting untuk perlindungan lahan gambut,” ujarnya.
Nadia merinci, total lahan gambut yang telah direstorasi pada kawasan budidaya berizin/konsesi (Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan) hanya mencapai 143.448 hektare dari target 1.784.353 hektare sampai tahun 2020 (hanya 8% dari target).
Sementara lahan gambut yang berhasil direstorasi pada kawasan non-izin (Hutan Lindung/HL, Hutan Produksi Tetap/HP, Kawasan Konservasi/KK, Area Penggunaan Lahan Lain/APL) baru mencapai 682.694 hektare dari target 892.248 hektare sampai tahun 2020 (77% dari target).
Jika tidak ada perbaikan kebijakan, dikhawatirkan target pemulihan dan restorasi gambut tidak akan tercapai. Dalam rencana pembangunan ke depan, total tutupan hutan di atas lahan gambut perlu dipertahankan pada luas minimal 9,2 juta hektare seperti kondisi pada tahun 2000 sehingga pada periode RPJMN 2020-2024, setidaknya diperlukan tambahan lahan gambut yang direstorasi seluas 1,5-2 juta hektare.
Kekhawatiran serupa disampaikan CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar. Dia mempersoalkan kondisi hutan mangrove yang terus mengalami kerusakan. Padahal, luas hutan mangrove dunia seluas 16,5 juta hektar, dan dari luasan itu, 33% ada di Indonesia.
“Dalam empat tahun terakhir terjadi kerusakan dan paling banyak kerusakan di Indonesia. Faktor penyebab utama kerusakan alih fungsi lahan seperti tambak, perkebunan sawit, pertanian dan lain-lain,” sebutnya.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 13,2% dari baseline 2019. Jika dilihat dari indikator pembangunan rendah karbon pada sektor energi, persentase itu setara dengan 142 juta ton karbon di 2024.
Di 2009, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen untuk menurunkan GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri, dan mencapai 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020.
Dalam pertemuan UNFCCC Conference of the Parties (COP) 21 tahun 2015 di Paris, komitmen ini ditingkatkan menjadi penurunan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan sebesar 41% dengan dukungan internasional di bawah baseline emisi GRK tahun 2030.
Mengutip RPJMN 2020-2024, ada tujuh agenda pembangunan. Pada RPJMN tersebut, agenda ke-6 berbunyi: membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim.
Di antara sasaran makro pembangunan yang termuat dalam RPJMN 2020-2024 adalah penurunan emisi GRK sebesar 27,3% pada tahun 2024. Untuk memenuhi target penurunan emisi tersebut, perlu upaya-upaya strategis dan agresif di sejumlah sektor ekonomi, di antaranya, melalui strategi pembangunan rendah karbon. Salah satu indikator utama yang digunakan dalam pembangunan rendah karbon adalah Intensitas Emisi.
Intensitas Emisi adalah jumlah emisi gas rumah kaca (CO2e) per satuan output ekonomi (miliar rupiah Produk Domestik Bruto/PDB). Penurunan emisi GRK dan Intensitas Emisi di Indonesia akan bergantung pada implementasi kebijakan di sektor energi, lahan dan gambut, industri, limbah, pertanian, serta pesisir dan kelautan. Saat ini, pemanfaatan lahan dan energi masih menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca di Indonesia. (E03)