Seiring meningkatnya berbagai masalah lingkungan karena sampah dan krisis iklim, circular economy atau ekonomi sirkular kini disebut-sebut sebagai salah satu solusi ekonomi yang ramah lingkungan.
Data UNEP menyebutkan, setiap tahunnya manusia membuang 300 juta ton plastik atau hampir sama dengan berat populasi manusia. Para ilmuwan memperkirakan pada tahun 2050, akan ada lebih banyak plastik di lautan daripada ikan.
Bukan itu saja. Dalam satu tahun, sampah elektronik yang dihasilkan manusia bisa mencapai 50 juta ton. Kita juga membuang sepertiga dari semua makanan yang diproduksi, sementara banyak orang kelaparan.
Secara keseluruhan, perputaran ekonomi menghasilkan lebih dari 100 miliar ton sumber daya dan lebih dari 60% berakhir sebagai sampah atau emisi gas rumah kaca. Sungguh sia-sia. Jika terus dibiarkan, kondisi Bumi makin mengkhawatirkan dan ancamannya tidak main-main.
“Masalahnya bukan hanya karena konsumen membeli terlalu banyak sementara upaya daur ulang masih terbatas. Ekonomi global saat ini menggunakan model “take-make-waste” di mana sumber daya alam diambil, digunakan, dan berakhir sebagai sampah,” kata David McGinty, Global Director, Platform for Accelerating the Circular Economy (PACE), dikutip dari World Resources Indonesia.
“Model yang tidak efisien ini sangat berbahaya bagi planet kita, memperburuk krisis iklim dan menghabiskan sumber daya yang kita perlukan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan makmur di masa depan,” sambungnya.
Sistem ekonomi sirkular dibutuhkan karena merupakan model ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Namun menurut McGinty, ini bukan hanya masalah lingkungan. Menggunakan sumber daya yang sulit didapat secara lebih baik dengan menggunakan sistem untuk menghindari sampah dan memperpanjang waktu pakai material, jauh lebih menguntungkan secara sosial dan ekonomi.
“Bayangkan saja, satu ton ponsel yang dibuang mengandung emas 100 kali lipat dari satu ton bijih emas. Jika kita mengurangi seperempat pembuangan makanan dan sampah saja, kita bisa memberi makan 870 juta orang,” McGinty memberikan gambaran.
Dia menyebut, jika kita membangun ekonomi sirkular di 5 sektor kunci: semen, aluminium, baja, plastik, dan makanan, maka kita bisa mengurangi emisi CO2 sebesar 3,7 miliar ton pada tahun 2050. Kita juga bisa mengurangi sampah, menstimulasi pertumbuhan bisnis, dan menciptakan lapangan pekerjaan sebesar USD4,5 triliun.
Jadi, bagaimana caranya mengadopsi ekonomi sirkular ini? McGinty menyebut ada 3 langkah penting yang perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan ekonomi sirkular ini:
1. Kurangi konsumsi
Semakin banyak kita mengkonsumsi, semakin banyak sumber daya alam terkuras. Di sisi lain, semakin banyak kita mengkonsumsi, semakin banyak pula kita menghasilkan limbah.
Dengan demikian, mengurangi konsumsi bukan saja akan menghemat sumber daya alam, tetapi juga akan ikut mengurangi produksi limbah yang kita hasilkan, yang pada gilirannya akan berkontribusi bagi peningkatan kualitas lingkungan. Salah satu contohnya, mengurangi konsumsi atau penggunaan kantong plastik.
2. Bijak dalam mengkonsumsi
Kita perlu lebih bijak dalam melakukan aktivitas konsumsi. Caranya dengan lebih selektif dalam memutuskan apa saja yang akan kita konsumsi, atau kita gunakan.
Misalnya, ketimbang menggunakan mobil pribadi untuk pergi ke kantor, yang berarti ikut menambah kemacetan, menambah polusi, dan menyita ruang untuk parkir, kenapa tidak menggunakan sistem carpooling (berbagi perjalanan dalam satu arah tujuan), seperti yang mulai dipopulerkan melalui aplikasi online.
3. Buat perubahan sistemik
Konsumen memang tidak dapat berbuat banyak mengingat sistem ekonomi kita menggunakan model take-make-waste. Untuk mendorong terciptanya ekonomi sirkular, yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik, termasuk sisi kebijakan dan regulasi. Contohnya, kebijakan yang terkait dengan insentif maupun regulasi yang mengharuskan penggunaan bahan sekunder dan daur ulang. Contoh lainnya, kebijakan pemberlakukan pajak atas kemasan plastik yang memiliki kurang dari 30% konten daur ulang.
Lewat ekonomi sirkular, kita berupaya meminimalkan penggunaan sumber daya sekaligus meminimalkan produksi limbah dan emisi karbon (reduce). Hal ini termasuk melakukan praktik daur ulang (recycle) serta penggunaan dan pemanfaatan kembali produk agak tidak sekali pakai (reuse).
Penerapan ekonomi sirkular diyakini akan memberikan kontribusi signifikan bagi pelestarian lingkungan serta mereduksi krisis iklim. Selain itu, ekonomi sirkular juga diyakini lebih menguntungkan secara finansial.
Salah satu kajian menyebutkan bahwa dengan menerapkan ekonomi sirkular, kita bisa menghindari pemborosan dan menghemat hingga mendekati USD5 triliun per tahun. Di saat yang sama, kita juga memiliki peluang lebih besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Indonesia sendiri tengah menuju penerapan ekonomi sirkular dan mulai mengadopsinya dalam rencana pembangunan 2020–2024. Negara kita menjalin kerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) dan Pemerintah Denmark di dalam lima sektor industri: makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan grosir, serta eceran.
Kelima sektor tersebut, selama ini dinilai cukup menjadi sektor yang perlu dibenahi, mengingat menjadi sumber pencemar dan penghasil sampah dalam proses ekonominya.
Semoga saja upaya ini bisa mendorong penerapan model ekonomi sirkular sepenuhnya, sehingga tak hanya berkontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara kita, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, sekaligus ikut mengatasi masalah perubahan iklim untuk menyelamatkan Bumi. (E03)