Minyak jelantah atau minyak bekas pakai kerap dianggap sebagai limbah yang dibuang begitu saja. Padahal, minyak jelantah atau juga dikenal dengan istilah UCO (used cooking oil) bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam hal, termasuk dijadikan bahan baku biodiesel.
Menurut Research Manager Traction Energy Asia, Fariz Panghegar, ada tiga manfaat yang dapat dihasilkan dari penggunaan UCO sebagai feedstock compelementer dari BBN (Bahan Bakar Nabati), yakni menurunkan emisi gas rumah kaca, penghematan anggaran, serta mendorong sistem ekonomi sirkular.
“Menggunakan UCO sebagai bahan baku biodiesel dapat menurunkan timbulan emisi hingga 49 juta kg CO2 equivalent,” tutur Fariz dalam diskusi Indonesia Data and Economic (IDE) Conference Katadata 2022 yang bertajuk “Green Circular Economy: Utilizing Used Cooking Oil (UCO) as a Low Emission Feedstock for Sustainable Biofuel”.
Lebih lanjut Fariz menuturkan, langkah ini dapat membantu target penurunan emisi sektor energi yang digagas oleh pemerintah sebesar 91 juta ton CO2. Ia menuturkan, Traction Energy Asia telah melakukan penghitungan skenario terkait pemanfaatan UCO sebagai bahan baku campuran biodiesel.
Dalam penghitungan tersebut, Traction Energy Asia melakukan beberapa simulasi penghitungan rasio UCO dan CPO untuk membuat satu jenis biodiesel. Hasilnya, untuk pengadaan satu jenis biodiesel dengan campuran UCO sekitar 10% hingga 30% yang ditambah dengan CPO dalam produksi B30 saat ini, dapat menurukan emisi sebanyak 8% hingga 24% target penurunan emisi sektor energi pemerintah.
“Jadi, dengan menambahkan bahan baku dari UCO bisa mengurangi lagi emisi gas rumah kaca di sektor energi,” ujarnya. Selain itu, pemanfaatan UCO juga bisa menghemat anggaran pengadaan BBN nasional mencapai Rp4 triliun.
Alasannya, potensi ketersediaan UCO dari rumah tangga dan unit bisnis skala mikro mencapai 1,2 juta KL per tahun, berdasarkan data Traction Energy Asia untuk 2022. Sementara total alokasi pengadaan BBN tahun 2020 mencapai 9.547.506 KL. Jadi, ada potensi penghematan anggaran pengadaan BBN nasional dengan alokasi biodiesel UCO sebesar 10% dari total alokasi.
Tidak hanya itu, pemanfaatan UCO untuk biodiesel juga mendorong kegiatan ekonomi sirkular. Sebab, prosesnya berkelanjutan dan memungkinkan munculnya peran ekonomis di beberapa sektor, seperti menciptakan lapangan kerja di sektor pengolaan limbah dan penghasilan tambahan bagi unit rumah tangga dan unit usaha penghasil UCO.
Terlebih, menurut Fariz, potensi ketersediaan UCO di wilayah Jawa-Bali yang berasal dari rumah tangga dan Unit Usaha Mikro per tahun terbilang besar, mencapai 1,2 juta KL per tahun. Jika diasumsikan, ketersediaan tersebut dapat menghasilkan 954.751 KL UCO sebagai bahan baku pengganti biodiesel.
Selain itu, UCO dapat juga menyediakan pasokan feedstock alternatif dengan harga lebih murah untuk pengadaan BBN nasional. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan UCO juga bisa menangani persoalan limbah cair akibat jelantah sebagai polutan air permukaan dan air tanah di kawasan perkotaan.
Senada dengan Fariz, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Alin Halimatussadiah menuturkan rumah tangga memang memiliki peran strategis untuk menghasilkan UCO, tapi memang belum dioptimalkan.
“Kalau sektor rumah tangga ini dimanfaatkan, tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga kesehatan. Bahkan, dampak kesehatannya akan melebihi dampak lingkungan,” ujarnya. Sebab, banyak dari sektor rumah tangga membuang minyak jelantah ke tanah atau selokan. Padahal, itu membuat baku mutu air berkurang, sehingga berpengaruh pula terhadap kesehatan keluarga yang memakainya.
Selain itu, hal lain yang perlu dihindari adalah penjualan minyak jelantah dari rumah tangga yang dipakai kembali untuk berjualan atau direkondisi, yang juga memiliki dampak buruk pada kesehatan.
Meski menjanjikan, Alin melihat masih ada permasalahan untuk mengumpulkan UCO dari rumah tangga, terutama dari sisi logistk. Alasannya, berbeda dari sektor usaha yang mudah dikumpulkan dalam satu titik, pengumpulan dari rumah tangga sangat banyak dengan titik yang berbeda.
“Belum lagi, soal kualitas UCO yang berbeda-beda dari masing-masing rumah tangga. Hal ini terkait dengan kebiasaan rumah tangga tersebut dalam memasak,” ujarnya. Untuk itu, ia menyarankan agar mulai dilakukan edukasi mengenai penghematan sumber daya dan pengelolaan limbah ke masyarakat. (E04)