Titik Temu
Menyelamatkan Bumi dengan Material dan Desain Produk yang Berkelanjutan 
Editorial Cast | 03.22.2022

Masa depan Bumi bergantung pada perubahan perilaku manusia dalam mengonsumsi dan mencipta sesuatu. Namun, kita kerap kali “merusak” lingkungan dengan menggunakan atau memanfaatkan lingkungan dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab dan berlebihan. Beberapa desainer produk, melakukan upaya membantu menyelamatkan Bumi lewat keahlian mereka. 

Diaz Adisastomo, salah satu desainer produk yang kerap terlibat dalam desain produk ramah lingkungan, mengaku bahwa produk-produk yang ia rancang tidak selalu dengan sengaja dimaksudkan menggunakan material berkelanjutan. Namun kebetulan, ia senang memasukkan unsur kayu pada rancangan produknya. 

“Sering kali mungkin saya tidak intentional dalam menggunakan material berkelanjutan. Tapi sebenarnya material seperti kayu sudah merupakan biomaterial, namun perlu regulasi yang lebih struktural untuk bisa sustainable,” ujarnya. 

Diaz bercerita, dalam perjalanan karirnya, ia cukup banyak terekspos dengan proses produksi di pabrik furnitur yang berbasis kayu. Perlahan Diaz memahami bagaimana sebuah produk dibuat, serta apa yang tidak dan bisa diterapkan pada material tersebut. Pengalaman ini mempengaruhi Diaz untuk cenderung memilih material kayu. 

“Kayu juga bisa diolah dengan cara yang paling sederhana atau low tech. Misalnya, menggunakan pisau atau alat serut hingga dengan cara yang sangat sophisticated atau hi-tech seperti CNC machine atau molding machine. Spektrum seperti ini agak sulit ditemukan di material lain,” jelasnya. 

Terakhir, Diaz menyukai material kayu karena punya banyak kemungkinan dalam penggunaannya. “Endless possibilities (penggunaannya) sebagai material benda pakai, seperti instrumen musik, furnitur, interior, konstruksi bangunan, hingga elektronik,” kata Diaz. 

Masalah lingkungan 

Isu lingkungan hidup yang terkait dengan produk yang tidak berkelanjutan, menurutnya cukup rumit. Namun bukan berarti kita tidak bisa berbuat sesuatu untuk berkontribusi mencegah kerusakan Bumi menjadi lebih parah. 

“Kembali ke manusia. Persoalannya cukup kompleks, tapi memang tidak bisa hanya menunggu regulasi. Kita bisa mulai dengan mengurangi konsumsi yang tidak perlu atau lebih mindful dalam menggunakan sesuatu,” ujarnya.

Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini berpendapat, terciptanya produk hijau yang berdampak harus didukung dengan kebiasaan, gaya hidup, dan regulasi yang sejalan. 

“Dalam konteks Indonesia yang memiliki beragam local wisdom, budaya dan penggunaan material yang dekat dengan alam, tentu banyak aspek yang bisa diadaptasi atau diaplikasikan ke dalam kehidupan saat ini dan ke depannya,” kata Diaz. 

Menurutnya, berbagai inovasi terkait produk yang berkelanjutan merupakan bagian dari perjalanan manusia. Dia mencontohkan, di tahun 1950-an, ketika plastik masih baru diaplikasikan, material tersebut sangat dielu-elukan. 

“(Plastik) sempat disebut miracle material karena endless possibilities. Namun seiring berjalan waktu, dampak negatifnya makin banyak karena eksploitasi berlebih. Perlu adanya implementasi material yang beneficial, yang bermanfaat terhadap produsen dan konsumen yang bisa menjadi bagian dari gaya hidup,” sebutnya. 

Mencipta produk “hijau”

“Merancang merupakan sebuah rangkaian pemikiran dan aktivitas yang akhirnya adalah ujungnya adalah making sense of things,” kata Diaz saat menceritakan bagaimana proses dirinya merancang. 

Setiap proyek menurutnya memiliki banyak variabel dan tantangan yang berbeda-beda, mulai dari intensi, fungsi, material, pengguna, budget, lingkungan dan isu spesifik lainnya yang perlu diakomodir, namun tanpa kehilangan karakteristiknya. 

“Kepekaan dan proses connecting the dots menjadi hal yang secara learning by doing saya asah,” jelas Diaz. 

Ada beberapa proyek yang sempat ia kerjakan, yang berangkat dari pemikiran atas dampak sebuah produk terhadap lingkungan, antara lain penggunaan plat nomor kendaraan bekas atau botol-botol bekas yang dikombinasikan dengan kayu.

Diaz juga mengulik bermacam material yang belum pernah dicobanya. Melalui program Altermatter yang diselenggarakan British Council dan CAST Foundation, dia sedang bereksperimen dengan material serupa jamur bernama mycelium untuk diaplikasikan pada furnitur. 

“Bersama desainer asal Wales, UK, Adam Davies, kami tertarik mengetahui sifat dari mycelium dan membahas kemungkinan pemanfaatan bahan lain. Ada kecederungan para maker menggunakan bahan yang kurang ramah lingkungan. Dan menurut saya mycelium bisa jadi bahan yang keren untuk furnitur,” kata Diaz. 

Adapun tantangan dalam mengembangkan inovasi produk yang berkelanjutan, menurut Diaz lebih mengacu pada ketersediaan material untuk merancang dan membuatnya. 

“Dibanding dengan material yang sudah umum dan tersedia di masyarakat saat ini, material yang berkelanjutan mungkin masih terhambat di sisi supply yang belum terlalu established,” imbuhnya. 

Ke depannya, Diaz berharap narasi akan kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia bisa dimanfaatkan dalam pengembangan inovasi produk yang berkelanjutan. 

Local wisdom bisa sangat menarik ketika diaktivasi dengan artefak atau produk yang terkait dengan material local juga. Semoga ini bisa jadi guideline untuk produsen dan konsumen, dan juga tentu perlu didukung regulasi yang suportif dari pemerintah,” harapnya. (E03) 

Artikel ini merupakan bagian dari Seri Altermatter. Ketahui lebih lanjut tentang Project Altermatter.