Serbuk kayu sering dianggap sebagai limbah dan terbuang sia-sia. Efriyani dari Studio Hutan Hujan punya ide memanfaatkan limbah ini untuk dibuat menjadi produk baru. Ini berkat sebuah tugas akhir kuliah.
“Dosen mengarahkan saya untuk mendesain furnitur namun memanfaatkan limbah, walaupun pada saat tersebut belum mengetahui secara spesifik limbah apa yang akan digunakan,” kata Efri, sapaan akrabnya, menceritakan awal mula mengolah limbah serbuk kayu.
Efri melakukan berbagai riset mengenai material organik yang bisa segera dimanfaatkan tanpa perlu diolah lagi sebelum menjadi material layak guna. Dia juga mencari cara pengolahan yang tidak memerlukan modal besar. Pilihan Efri akhirnya jatuh pada limbah serbuk kayu yang banyak tersedia di sekitar lingkungan rumahnya di Serang, Banten.
“Saya mendapatkan ide bagaimana serbuk kayu bisa langsung dimanfaatkan untuk membentuk produk, tanpa harus mengubahnya terlebih dahulu menjadi material mentah. Sehingga, material tersebut bisa saya langsung cetak menyesuaikan dengan produk yang dibayangkan,” ujarnya.
Mudah didapatkan dan mudah diolah, bukan berarti limbah serbuk kayu tidak memerlukan penanganan khusus. Melalui berbagai riset juga, Efri belajar mengolah serbuk kayu. Perlu riset selama tiga bulan bagi Efri untuk mencari tahu zat kimia apa yang cocok untuk membentuk produk dari limbah serbuk kayu.
“Pertama, kita harus mengambil serbuk kayu di hari yang sama dan berasal dari pohon yang sama. Kemudian, kita perlu mengeringkan serbuk tersebut sesuai dengan kelembapan yang dibutuhkan,” tutur Efri.
Setelah itu, serbuk kayu dicampur dengan zat kimia perekat, dengan perbandingan 2:5. Kemudian, bahan tersebut diaduk dan di-press ke dalam cetakan, lalu didiamkan selama sehari penuh, untuk menyesuaikan dengan keseimbangan komposisi.
“Tantangan paling awal adalah mencari bahan kimia serta komposisi yang tepat untuk digunakan dalam membuat produk tersebut. Sebagai bahan dasar, warna dan kelembapan dari serbuk kayu juga menjadi tantangan lain dalam proses produksi. Waktu pengerjaan juga turut menjadi tantangan dalam membuat produk tersebut,” Efri menceritakan pengalamannya.
Perlu ketelitian dan ketelatenan dalam mengolah serbuk kayu. Jika terjadi kegagalan, Efri harus mengulang kembali proses pembuatan produk. Tentu saja selain akan memakan lebih banyak waktu, Efri bisa mengalami kerugian, karena bahan kimia yang dipakai memerlukan modal yang tak murah.
Efri sangat yakin akan potensi limbah serbuk kayu di masa depan. Limbah ini sangat mungkin menjadi salah satu bahan alternatif terbarukan untuk mengolah produk baru.
“Serbuk kayu sering dianggap memiliki nilai ekonomi yang rendah. Namun, saya berharap bahan ini ke depannya justru dapat dilihat sebagai material yang memiliki nilai ekonomi yang lebih baik, dengan memanfaatkan formula yang telah saya buat. Saya juga percaya bahwa material ini tidak perlu selalu diolah kembali jadi material mentah, namun bisa langsung diolah menjadi sebuah produk tertentu,” ujarnya.
Respons yang didapatnya dari orang-orang sekitar cukup menggembirakan, Melihat produk yang dihasilkan dari limbah serbuk kayu, rekan-rekan Efri terkejut mengetahui serbuk kayu bisa dimanfaatkan sedemikian rupa untuk bisa dijadikan sebuah produk.
“Meskipun hasilnya sendiri saya katakan belum maksimal, namun pesan dari tindakan saya tersampaikan, bahwa material dari sebuah produk bisa dimulai dari yang ada di sekitar kita,” kata Efri.
Tak hanya mendapat pengakuan, berkat temuan ini, Efri menjadi salah satu material maker yang diajak terlibat dalam pameran Biomaterial di Smesco Labo Exhibition.
“Jujur, saya merasa senang bahwa karya saya bisa masuk dalam sebuah pameran, meskipun karya saya sendiri belum bisa dikatakan sempurna,” Efri menceritakan kesan-kesannya.
Melalui karyanya ini, Efri berharap masyarakat bisa menyadari bahwa bahan yang ada di sekitar kita sebenarnya bisa dimanfaatkan menjadi material yang memiliki daya jual dan fungsional. (E03)