Titik Temu
Mengenal Taksonomi Hijau, Masa Depan “Green Economy” Indonesia  
Editorial Cast | 02.17.2022

Kesadaran akan krisis iklim memunculkan berbagai upaya untuk menyelamatkan Bumi. Dunia berlomba untuk membuat dunia lebih baik agar bisa diwariskan kepada generasi mendatang. Atas dasar ini pula Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis dokumen Taksonomi Hijau Indonesia

Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah emisi karbondioksida. Target yang ingin dicapai adalah menurunkan emisi karbon sebanyak 41% pada 2030 dibandingkan level pada 2010. Target selanjutnya adalah mencapai netral karbon pada 2060.

Bagaimanapun, berbagai negara masih dalam fase membangun. Proses pembangunan itu kadang berdampak kepada lingkungan, salah satunya meninggalkan jejak karbon. Agar tidak menghambat pembangunan, maka diperkenalkan sebuah konsep yang disebut perdagangan karbon (carbon trading). 

Perdagangan karbon adalah jual-beli kredit yang membuat sebuah entitas diizinkan untuk memproduksi emisi karbon. Indonesia adalah salah satu negara berstatus paru-paru dunia. Indonesia memiliki luasan hutan hujan (rain forest) terbesar ketiga dunia, hanya kalah dari Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Bekal itu membuat Indonesia punya banyak kredit karbon yang bisa diperdagangkan, jika ada perusahaan di negara lain yang membutuhkan.

Akan tetapi, Indonesia belum memanfaatkan dengan maksimal potensi ekonomi dari perdagangan karbon karena belum ada regulasi dan standar yang spesifik mengatur hal itu. Karenanya, OJK pun meluncurkan dokumen Taksonomi Hijau Indonesia.

Panduan menuju ekonomi hijau 

Dokumen Taksonomi Hijau Indonesia akan digunakan sebagai panduan aktivitas ekonomi hijau nasional. Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Taksonomi Hijau Indonesia yang disusun bersama delapan kementerian berisikan daftar klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. 

“Dalam taksnomi hijau yang kami susun, kami mengkaji 2.733 klasifikasi sektor dan subsektor ekonomi, di mana 919 di antaranya telah kami konfirmasi dengan kementerian terkait,” kata Wimboh dalam Pertemuan Tahunan Indonesia Jasa Keuangan 2022, Januari lalu, dikutip dari Kompas.com.

Selain itu, Taksonomi Hijau Indonesia juga akan digunakan sebagai acuan bagi penyusunan pemberian insentif dan disinsentif dari berbagai kementerian dan lembaga termasuk OJK. 

Wimboh mencontohkan, salah satu contoh kebijakan insentif yang selaras dengan Taksonomi Hijau Indonesia ialah terkait pembiayaan kendaraan berbasis baterai. OJK akan mulai menurunkan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) khusus kendaraan berbasis baterai. Ini akan jadi pedoman bagi penyusunan kebijakan dalam memberikan insentif dari berbagai kementerian dan lembaga termasuk di dalamnya OJK. 

Taksonomi Hijau menggolongkan kegiatan usaha menjadi tiga klasifikasi: 

1. Kategori hijau, yaitu kegiatan usaha yang melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta mematuhi standar tata kelola yang ditetapkan pemerintah dan menerapkan praktik terbaik di tingkat nasional ataupun tingkat internasional.

2. Kategori kuning, kegiatan usaha yang memenuhi beberapa kriteria atau ambang batas hijau. Penentuan manfaat kegiatan usaha ini terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan masih harus ditetapkan melalui pengukuran serta dukungan praktik terbaik lainnya. 

3. Kategori merah, yaitu yang tidak memenuhi kriteria hijau atau kuning.

“Dengan adanya pembagian klasifikasi pada Taksonomi Hijau yang disertai informasi ambang batas yang terhubung pada masing-masing kegiatan, diharapkan dapat memberikan informasi bagi seluruh pemangku kepentingan terkait dalam menyusun kebijakan khususnya dalam proses pembiayaan/investasi ke sektor-sektor yang masuk ke dalam sektor hijau dan/atau sebaliknya,” tulis dokumen itu.

Selain untuk penentuan insentif, Taksonomi Hijau Indonesia juga bisa menjadi panduan untuk perdagangan karbon seperti yang sudah dibahas di awal. 

“OJK bersama Self Regulatory Organization (SRO) yang terdiri dari BEI, KSEI, dan KPEI, bersama dengan pemerintah sedang mengakselerasi kerangka pengaturan bursa karbon di Indonesia,” kata Wimboh.

Oleh karena itu, Taksonomi Hijau dapat disebut sebagai upaya Indonesia tak hanya untuk membangun ekonomi secara berkelanjutan, melainkan juga untuk membuka potensi pasar baru yaitu perdagangan karbon. (E03)