Titik Temu
Mengenal Planetarian, Pola Makan Sehat yang Peduli Lingkungan 
cast | 08.05.2021

Banyak orang kini memiliki kesadaran akan kebiasaan makan yang lebih sehat. Ada yang menjalankan pola makan vegan (tidak mengonsumsi daging dan semua produk turunan hewan), vegetarian (tidak mengonsumsi daging), pescetarian (tidak mengonsumsi daging, tapi masih mengonsumsi ikan, makanan laut, dan produk turunan hewan), flexitarian (mengonsumsi lebih banyak makanan nabati dan lebih sedikit daging), dan ada pula yang terbaru, planetarian

Pola makan planetarian mengonsumsi makanan yang proses produksinya rendah emisi karbon. Diet planetarian dicetuskan oleh EAT, sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan. Mereka berharap pola makan ini dapat berdampak positif serta berkontribusi mengurangi masalah lingkungan dan pemanasan global. 

“Planetarian pada dasarnya adalah pola makan yang lebih ramah lingkungan, mengurangi protein hewani, karena cara penanamannya, hasil buminya, dan lain-lain itu jauh lebih sedikit dampaknya terhadap lingkungan,” kata Max Mandias, Co-founder dan Executive Chef dari restoran sehat dan organik Burgreens kepada CAST Foundation, dalam diskusi “Re:model Our Food Habits“. 

Max menyebutkan, diet planetarian bukan berarti tidak makan protein hewani sama sekali. Pola makan ini mengambil porsi 90% nabati dan 10% hewani. Pola makan planetarian memang sangat fleksibel dan tidak menekankan jenis makanan tertentu, tapi justru menyesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah. Karena itu, pola makan ini sangat bisa diadaptasi semua orang di berbagai belahan dunia. 

Menurut Max, kebanyakan pola makan orang Indonesia sudah masuk ke dalam contoh planetarian. “Misalnya kita orang Indonesia, (makan) ada nasi, sayur, dan ada ikan asinnya. Ya sudah itu planetarian. Atau makan nasi, sopnya kacang merah dengan sedikit daging, big plate-nya lebih banyak nabati. Itu bisa disebut plant-based diet meskipun belum 100%. Makanya kita sebut planetarian,” urainya.

Kenapa planetarian?

Banyak orang tidak sadar bahwa makanan yang dikonsumsinya, sejak mulai makanan diproduksi, didistribusikan, dimakan, hingga menghasilkan food waste dan food lost, memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.

“Ini bukan hanya tentang kesehatan manusia, tetapi juga tentang no healthy human without healthy planet. Tidak ada orang sehat kalau planetnya gak sehat,” kata Max. 

Kita bisa membantu menjaga lingkungan sambil menjaga kesehatan diri dengan cara mengonsumsi makanan sehat seperti buah, sayur, kacang-kacangan, dan semua makanan yang berasal dari tanaman. Kebiasaan makan ini dapat membantu mengurangi jejak karbon. 

Untuk diketahui, dengan mengonsumsi lebih banyak protein hewani dan olahannya, kita menyumbang masalah yang berdampak pada kesehatan serta kerusakan lingkungan. Sumber protein hewani, terutama daging merah, memiliki jejak karbon sangat tinggi yang berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca, hingga perubahan iklim. Bagaimana bisa? 

Peternakan memerlukan lahan yang luas, sehingga pembangunannya sering mengakibatkan penggundulan lahan. Selain itu, hewan ternak memerlukan pakan dari tumbuhan dan menghabiskan banyak air. Berdasarkan data EAT, pertanian dunia saat ini menempati hampir 40% dari lahan global. Konversi lahan untuk produksi makanan menjadi penyebab hilangnya keanekaragaman hayati. Produksi makanan hewani juga bertanggung jawab atas 30% emisi gas rumah kaca global dan 70% penggunaan air tawar. 

Semua itu memperparah pemanasan global dan berkurangnya cadangan air tanah. Kerusakan planet akan sulit diatasi selama kita masih mengandalkan daging hewan ternak. Karenanya, mengurangi konsumsi daging akan membantu mengurangi permintaan produksi hewan ternak. Ini juga berarti akan ada lebih banyak lahan yang dapat digunakan untuk meredam gas rumah kaca, sehingga berkontribusi membuat planet kita lebih sehat.  

Dalam studinya, EAT menyebut bahwa mengubah pola makan menjadi diet planetarian yang ramah lingkungan juga dapat mencegah 11 juta kematian prematur pada orang dewasa setiap tahun. Pola makan ini juga mendorong sistem pangan global yang berkelanjutan, dan memastikan orang mengonsumsi makanan sehat dalam batas wajar sehingga tidak mengeksploitasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. (E03)