Dalam beberapa tahun terakhir, industri dirgantara Indonesia secara bertahap terus menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik. Hal itu terlihat dari geliat PT Dirgantara Indonesia (PT DI) melalui pesawat besutannya yang kian mendunia, seperti pesawat CN235.
Pesawat yang diproduksi pertama kali pada tahun 1983 ini kini telah banyak digunakan sejumlah negara, seperti Senegal, Malaysia, Brunei, Turki, Venezuela, hingga Korea Selatan. Kepopuleran CN235 tidak lepas dari tipe pesawat tersebut yang mampu digunakan untuk berbagai kebutuhan.
Menurut Direktur Produksi PT DI, M. Ridlo Akbar, CN235 memang merupakan pesawat multiplatform. Maksudnya, pesawat ini bisa digunakan untuk misa yang berbeda, seperti transportasi, kargo, medical evacuation, maritime patrol aircraft , VIP, termasuk VVIP.
Kemampuan pesawat ini pun pernah pujian dari Presiden Joko Widodo dalam unggahan Facebook resminya di 2017. Saat itu, ia mengungkapkan pesawat ini sudah banyak digunakan sejumlah negara dan dikenal sebagai pesawat multiguna yang digunakan untuk berbagai kebutuhan.
“Inilah pesawat CN235 produksi PT DI yang digunakan oleh Angkatan Udara Senegal di Afrika. Pesawat lainnya telah dikirm ke kepolisian kerajaan Thailand dan penjaga pantai Korea Selatan,” tulis Presiden Joko Widodo dalam unggahannya ketika itu.
Selain pasar dunia, CN235 juga hadir untuk memenuhi kebutuhan dalam negari. Baru-baru ini, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah mengungkap akan memboyong 10 unit CN235 sekaligus. Ia juga berharap PT DI bisa meningkatkan kapasitas produksi CN235 agar bisa memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan luar negeri.
Perlu diketahui, selain kemampuannya sebagai pesawat multiplatform, CN253 juga dirancang untuk bisa lepas landas dan mendarat di landasan pendek. Bahkan, pesawat ini mampu take off dan landing di landasan pacu non-aspal. “Selama cukup keras, di tanah atau rumput pesawat ini bisa take off/landing,” tutur M. Ridlo.
Pesawat ini juga hadir dengan konsep bodi lebar dan kabin bertekanan. Sebagai pendukung kemampuannya, CN235 memiliki teknologi sayap tinggi untuk pengangkatan lebih tinggi dan hambatan lebih rendah.
Keunggulan lain dari pesawat ini adalah mampu terbang selama 8 jam dan sudah memliki winglet di ujung sayap, sehingga lebih stabil dan irit bahan bakar. Untuk kebutuhan maritime patrol aircraft, CN235 turut dilengkapi dengan sistem misi AMASCOS 200 besutan Thales yang ditampilkan dalam dua konsol di pesawat.
Selain itu, pesawat ini juga memiliki 360o Search Radar yang dapat mendeteksi terget kecil hingga 200 NM (Nautical Mile) dan Automatic Identification System (AIS) sebagai sistem pelacakan otomatis untuk mengindentifikasi kapal atau posisi objek yang mencurigakan.
Tidak hanya itu, CN235 turut dibekali kamera infrared, sehingga memungkinkan pesawat ini melakukan patroli di malam hari dan berbagai kondisi cuaca. Pesawat ini juga memiliki kecepatan menengah, sehingga sangat mendukung kebutuhan patroli.
Soal daya tahan, performa pesawat ini juga terbukti saat dilakukan pengiriman untuk Angkatan Udara Senegal pada 2021. Ketika itu, Kapten Esther Gayatri sebagai test pilot PT DI memimpin penerbangan feri CN235-220 dari Bandung menuju Dakar, Senegal.
Rute penerbangan pesawat ini adalah Bandara Husein Sastranegara Bandung menuju Medan, lalu ke Chennai dan Mumbai (India), Doha (Qatar), Khartoum (Sudan), N’Djamena (Chad), Niamey (Niger) dan Dakar (Senegal) sebagai tujuan akhir.
“Performance pesawat ini sangat terbukti selama perjalanan 48 jam dari Bandung ke Dakar. It’s proven,” tutur Esther yang memimpin penerbangan tersebut.
Menariknya lagi, dengan kemampuan yang dimilikinya tersebut, produksi pesawat CN235 sepenuhnya dilakukan di Indonesia. Direktur Produksi PT DI, M. Ridlo Akbar mengatakan, umumnya industri pesawat terbang itu fokus pada pembuatan pesawatnya saja.
“Di industri penerbangan itu sangat normal dengan global supply chain, di mana komponennya dibuat dari berbagai supplier di dunia. Sementara CN235 itu dari ujung ke ujung dibuat di sini (Indonesia),” tuturnya.
Ia menuturkan, proses produksi CN235 di Indonesia meliputi bagian palling kecil dari pesawat, hingga kemudian dirakit untuk menjadi bagian yang lebih besar. Proses instalasi sistem pun dilakukan di Indonesia. “Jadi, pesawat ini memang cita rasanya Indonesia,” tutur M. Ridlo.
Kendati demikian, ia menjelaskan untuk bahan mentah PT DI memang masih mendatangkan dari luar negeri. Sebab, menurutnya, industri dalam negeri Indonesia belum memproduksi bahan mentah untuk kebutuhan dirgantara. (E04)