NFT atau non-fungible token tengah menjadi tren di dunia seni, terutama seni digital. Bahkan, penjualan NFT tidak hanya dilakukan para artis, tapi juga sejumlah pebisnis, seperti CEO Twitter Jack Dorsey dan taipan media Mark Cuban. Dalam konteks pasar seni rupa, NFT diunggulkan sebagai penjamin kualitas dan otentitas karyawa seni sebagai aset eksklusif.
Dalam gelaran Media Art Globale (MAG21) bertajuk “Shaking Up in Digital Art World” yang digelar secara virtual, Wiyu Wahono, seorang kolektor seni digital, mengatakan bahwa NFT memanfatkan teknologi blockchain, sama seperti Bitcoin. Namun, NFT hadir dengan token yang merupakan kombinasi case sensitive alphanumeric, sehingga memiliki jumlah kombinasi yang sangat banyak.
Wiyu menjelaskan, dengan teknologi blockchain, apa pun bisa dibuat menjadi NFT. Tidak hanya itu, setiap token yang dihasilkan hanya ada satu di dunia dan tidak ada yang sama. Berangkat dari situ, beberapa artis digital menyadari karya seni mereka bisa ditokenisasi dan diamankan dalam blockhain, lalu bisa menjualnya.
“Karena pemilik token adalah pemilik (karya seni) yang sah, maka kepemilikannya dipastikan aman. Selain itu, mekanisme transaksinya juga transparan dan bisa dilihat. Namun memang bukan dalam bentuk nama, melainkan token dari masing-masing penjual atau pembeli,” tutur Wiyu menjelaskan.
Sementara Detty Wulandari yang dikenal kerap mengoleksi karya seni, mengganggap NFT sebagai teknologi yang revolusioner. Sebab menurutnya, NFT tidak hanya berdampak pada visual yang dihadirkan, tetapi juga pada ekosistem.
“Awalnya, banyak dari kolektor merupakan pemain cryptocurrency. Mereka membeli karya untuk investasi. Namun saat ini, ada pula kolektor yang menyukai karya seni itu sendiri dan bagaimana karya itu ditampilkan. Jadi, dengan membelinya berarti mendukung si artis,” tutur Detty.
Terlebih, apabila nantinya karya itu dijual kembali, artis tetap akan mendapatkan royalti. Jadi, kemana pun karya tersebut berpindah tangan, artis akan tetap mendapatkan kompensasi.
“Dan hal itu tidak terjadi pada seni konvesional, sehingga saya menyebutnya revolusioner,” tutur Detty yang berkecimpung di dunia agensi digital. Namun tidak hanya itu, blockchain sebagai teknologi yang digunakan NFT dapat memotong alur penjualan lewat perantara.
Saat ini, seorang kolektor dapat langsung membeli karya seninya langsung ke sang artis. Karya seni yang ditampilkan di NFT, tutur Detty, juga tidak hanya terbatas pada audio maupun video. Ia menuturkan, ada beberapa karya seni NFT yang memberikan pengalaman langsung pada penikmatnya.
Detty menuturkan, NFT saat ini memang masih di tahap awal. Namun di masa depan tidak tertutup kemungkinan dapat berkembang lebih besar, termasuk di Indonesia. Bahkan, jika saat ini bahasa masih menjadi kendala untuk mengakses karya NFT, bukan tidak mungkin ke depannya akan ada marketplace NFT yang menggunakan Bahasa Indonesia.
Detty tak memungkiri saat ini memang ada yang berpandangan negatif terhadap NFT. Namun, tak ada salahnya untuk mencobanya terlebih dulu. “Sebab, ini merupakan solusi, dan jika kamu punya permasalahan dan teknologi ini dapat menjadi solusi, kenapa tidak (dicoba)?” tutur Detty.
Terkait adanya beberapa pandangan negatif terhadap NFT dari sebagian art enthusiast termasuk pelaku seni, Wiyu menuturkan, hal itu karena hal yang menjadi perbincangan adalah persoalan komersialiasi. Menurutnya, sangat jarang yang membahas mengenai nilai artistik dari karya seni NFT, dan ini yang mengganggu sebagian orang, terutama kolektor seni yang serius.
Namun terlepas dari hal tersebut, Wiyu mengapreasiasi para artis muda NFT. Ia mengatakan, sebagai kolektor, para artis tersebut dapat memroduksi sesuatu melampaui imajinasi dan tidak dapat memprediksi apa yang akan datang.
“Jadi, pasti akan ada hasil karya seni yang mengagumkan dari dunia seni NFT. Karenanya sayang apabila seni NFT mendapatkan pandangan negatif hanya karena banyak yang lebih membicarakan soal sisi komersialnya,” ucap Wiyu mengakhiri perbincangan. (E04)