Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim yang dapat mengancam kehidupan Bumi, sehingga negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, didesak untuk bahu membahu memangkas emisi GRK.
“Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 13,2% dari baseline 2019,” kata Program Director Coaction Indonesia (alternatif IESR) Verena Puspawardhani, dalam webinar Road to Net Zero: Energy, Forest, and Ocean.
“Jika dilihat dari indikator pembangunan rendah karbon pada sektor energi, persentase itu setara dengan 142 juta ton karbon di 2024,” sambungnya.
Diskusi itu juga mengungkap komitmen Indonesia untuk memangkas emisi karbon yang tercermin dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dari PLN. Menurut RUPTL 2021, pada 2030 nanti, bauran energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan akan mencapai 24,8%.
Selama sepuluh tahun mendatang, PLN berencana memensiunkan 1,1 Gigawatt (GW) PLTU dan menambah pembangkit baru sebesar 40,6 GW—di mana 51,6% atau 20,9 GW merupakan pembangkit dengan energi terbarukan. Sebagian besar pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini berupa pembangkit tenaga air, panas Bumi dan energi surya.
“RUPTL hijau menargetkan kurangi emisi sebesar 100 juta ton pada 2030. Namun, kita jangan hanya memangkas emisi dari sisi energi saja, jadi harus ada sektor lain yang dikejar agar target penurunan emisi di Indonesia segera tercapai,” Verena mengingatkan.
Di sektor energi, program inti pembangunan rendah karbon adalah pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, dan substitusi bahan bakar minyak.
Diharapkan pada 2024 nanti, bauran energi terbarukan dalam energi primer telah mencapai 19,5% (23% pada 2025). Targetnya, pada 2024 nanti terjadi penurunan emisi GRK dari sektor energi sebesar 13,2% dari tingkat emisi tahun 2019.
Untuk diketahui, baru-baru ini Indonesia mempertegas komitmen dalam pencapaian Penurunan Emisi Karbon pada 2030 dan Net Zero Emission (NZE) pada 2060 lewat penetapan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Hal tersebut diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (KTT PBB) terkait perubahan iklim edisi ke 26 atau COP26 di Glasgow, Skotlandia. (E03)