Titik Temu
“Mencetak” Kota Pintar dengan Printer 3D, Mungkinkah?
cast | 09.21.2021

Bayangkan sebuah kota pintar yang benar-benar mandiri, yang dapat memberi warganya teknologi untuk menanam makanan mereka sendiri, mencetak produk baru menggunakan printer 3D kapan pun mereka membutuhkannya, dan menawarkan alat lain yang mereka butuhkan untuk melawan masalah urbanisme yang berkembang. Dengan adanya teknologi, inovasi kota pintar yang tadinya hanya ada di bayangan kita, cepat atau lambat pasti akan terwujud. 

Ya, inovasi teknologi terus berkembang jauh, melampaui gadget atau platform layanan yang kita pakai, dan ada di segala sendi kehidupan. Sebuah kota pun bisa dikatakan sebagai sebuah teknologi, dan mungkin merupakan salah satu teknologi yang paling menarik yang pernah dibuat oleh manusia. 

Aspek terpenting: masyarakat

Co-founder Fab Lab Barcelona Tomas Diez, saat berbincang virtual dengan CAST Foundation dalam diskusi tema Re:emergent future menyebutkan, fabrikasi digital membantu mengakselerasi inovasi tersebut. Fabrikasi digital membuat alat dan proses baru menjadi lebih mudah diakses dan dibagikan oleh siapa saja di seluruh dunia karena bersifat open source

“Pikiran kolektif yang diberdayakan akan menentukan masa depan kehidupan umat manusia dan hubungannya dengan lingkungan. Peran arsitek, engineer, desainer, dan banyak profesional lainnya, akan dibentuk kembali dan dikonfigurasi ulang agar sesuai dengan model produksi dan kreasi baru,” kata Tomas. 

Karenanya, fabrikasi digital bukan hanya tentang mesin dan teknologi. Aspek yang paling penting dari fabrikasi digital, terutama untuk berkontribusi pada sebuah kota yang pintar, menurut Tomas adalah komunitas atau masyarakat kota itu sendiri. 

Fab City

Bersama dengan ahli teknologi, desainer, dan arsitek lainnya, Tomas mendukung proyek yang dikenal sebagai Fab City, yaitu kumpulan kota-kota dari berbagai negara yang bertujuan menciptakan kota yang lebih berkelanjutan dan produktif di seluruh dunia dalam 30 tahun mendatang. 

“Itu adalah sesuatu yang saya pikirkan akan seperti apa, bagaimana Fab City dan Fab Lab dapat berkontribusi pada transformasi sosial karena potensinya sangat besar,” ujarnya. 

Fab City menjadi model sebuah kota dengan alat-alat yang dikembangkan komunitas di Fab Lab. Idenya adalah, menyediakan semua sumber daya yang dibutuhkan masyarakat dan sebuah kota agar menjadi lebih efisien. 

Fab Lab sendiri dulunya berawal dari sebuah program di MIT Center for Bits and Atoms pada tahun 2001. Sejak itu, Fab Lab menjadi jaringan global. Saat ini ada lebih dari 1.300 Fab Lab di dunia, mulai dari Barcelona, Bolivia, bahkan hadir pula di Bali, Indonesia.  

Bagi Tomas, Fab Lab bukan hanya berbicara tentang fabrikasi digital, tetapi memperlihatkan perubahan budaya kita dari konsumen konten dan produk pasif menjadi pencipta atau produsen. 

“Saat ini semakin banyak orang yang terlibat dalam mengubah berbagai hal dengan mengambil peran konstruktif serta menyumbangkan waktu dan pengetahuan mereka. Kita harus memahami bahwa kita adalah katalis dari perubahan ini,” tutupnya.