Pemanfaatan material alternatif dalam proses produksi beragam produk berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Sesuai namanya, material alternatif merupakan material yang dikembangkan sebagai pengganti material yang umum digunakan saat ini. Biasanya, material alternatif dikembangkan karena material sebelumnya dianggap kurang efisien, tidak ramah lingkungan, atau berbiaya tinggi.
Material alternatif biasanya dipilih untuk mengurangi dampak lingkungan, karena sifatnya yang rendah karbon dan lebih berkelanjutan dalam proses produksi. Salah satu bidang yang diketahui mulai banyak mengandalkan material alternatif adalah untuk kebutuhan bangunan.
Saat ini, sejumlah peneliti dan desainer mulai mengembangkan material baru untuk menggantikan material yang biasa digunakan. Biasanya, material ini dikembangkan dari limbah atau bahan alami, tapi tetap memiliki kemampuan layaknya material yang telah digunakan dan ingin diganti. Menariknya, tren ini terjadi secara global, termasuk di Indonesia. Kini, ada beberapa perusahaan bahkan sudah mengembangkan material alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Kehadiran material alternatif salah satunya disebut-sebut bisa mengubah cara manusia dalam membangun konstruksi di masa depan. Seperti apa sih tren material alternatif yang akan berperan di masa depan dan bisa mengubah cara manusia di bidang konstruksi? Berikut beberapa pemain dalam industri yang sudah melakukannya.
Startup asal Jerman ini mengembangkan salah satu material alternatif yang menarik perhatian. Mereka memproduksi bioplastik yang berasal dari limbah hutan dan pertanian, serta memiliki kemampuan menyerap karbon.
Material ini lantas dapat digunakan untuk membuat berbagai objek, seperti panel heksagonal yang diberi nama HexChar. Panel ini sudah digunakan di salah satu dealer Audi yang berlokasi dii Muenchen, Jerman.
Selain itu, ada peneliti dari Technical University of Dresden yang bekerja sama dengan firma arsitektur Jerman Henn, membuat bangunan bernama The Cube dan diklaim akan menjadi bangunan beton pertama yang diperkuat dengan serat karbon, bukan baja.
Para peneliti dalam proyek ini membuat serat karbon yang berasal dari kristal karbon murni melalui proses dekomposisi termal yang disebut pirolosis. Lalu, benang-benang tersebut digunakan sebagai jaring sebagai tempat dituangkannya beton atau biasa disebut cor-coran, menggantikan baja.
Meski terdengar rapuh, para pengembang meyakini material ini memiliki kekuatan setara beton yang dicetak pada baja, bahkan lebih hemat. Sebab, untuk bisa menghasilkan kekuatan konstruksi yang sama dengan beton yang memakai baja, mereka membutuhkan lebih sedikit beton.
Lalu, ada startup asal Skotlandia bernama Kenoteq yang membuat batu bata ramah lingkungan. Disebut ramah lingkungan, karena 90% bahan batu bata bernama K-Briq ini berasal dari limbah konstruksi dan dalam proses pembuatanya tidak dibakar.
K-Briq dikembangkan oleh professor dari Heriot-Watt University, Edinburgh, yakni Gabriela Medero. Ia mengaku menghabiskan waktu 10 tahun untuk mengembangkan batu bata ini. Menurut Gabriela, ia mengembangkan batu bata karena keinginannya untuk mengurangi dampak lingungkan dari industri konstruksi.
Dengan teknik yang dikembangkan Gabriela, dalam pembuatanya, K-Briq hanya menghasilkan kurang dari sepersepuluh emisi karbon, jika dibandingkan batu bata biasa. Kendati demikian, K-Briq tetap memiliki ciri yang sama seperti batu bata biasa, bahkan menawarkan sifat insulasi lebih baik. Uniknya lagi, batu bata ini dapat diproduksi dalam berbagai warna.
Di Indonesia sendiri, ada pula beberapa pemain yang telah berhasil mengembangkan material alternatif. Produk mereka pun sudah mulai banyak digunakan. Salah satunya adalah Rebricks yang mengolah sampah plastik menjadi paving block.
Rebricks didirikan oleh Novita Tan, Ovy Sabrina, dan Arif Sanjaya sejak 2019. Melalui Rebricks, tiga sekawan ini ingin menghadirkan solusi bagi permasalahan sampah plastik yang ada di Indonesia. Karenanya, mereka lantas mengolah sampah plastik menjadi bahan bangunan.
Meski dibuat dari bahan daur ulang, Rebricks memastikan bahan bangunan yang dibuat tetap tahan lama, aman, sekaligus bisa diandalakan Proses pembuatannya pun tidak rumit. Mereka hanya perlu mencacah plastik yang kemudian dicampur dengan agregat kasar dan halus dengan komposisi tertentu, lalu dicetak.
Selain Rebricks, ada pula Mycotech Lab yang menggunakan mycelium sebagai medium perekat untuk material bahan bangunan seperti papan kayu. Biasanya, produk papan kayu seperti particle board dan medium density board (MDF) menggunakan resin sintetis yang mengandung formaldehida atau formalin.
Padahal, kandungan formalin pada produk tersebut kurang baik untuk kesehatan, jika dihirup dalam jangka waktu panjang, sehingga penggunaannya perlu dibatasi. Lalu dari situ, Mycotech Lab akhirnya memilih jamur sebagai medium perekat yang lebih aman sekaligus ramah lingkungan.
Lalu, ada Conture Concrete Lab, studio desain asal Bandung yang memanfaatkan limbah puntung rokok untuk menjadi material campuran beton. Lewat kerja sama dengan Parongpong Recycyle and Waste Management, mereka menggunakan puntung rokok sebagai bahan penguat beton, menggantikan peran fiber. (E04)