“(Laporan ini) merupakan lampu merah bagi umat manusia. Suara alarmnya sudah memekakkan telinga, dan buktinya tak bisa ditolak; emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembakaran hutan mencekik planet kita dan membahayakan miliaran orang,” ujar Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres tentang laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit awal Agustus 2021.
Ia menyerukan dunia agar berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batubara serta berhenti melakukan eksplorasi bahan bakar fosil. Ia juga meminta semua pihak, mulai dari pemerintah, investor dan pelaku bisnis, untuk mengerahkan segala daya upaya untuk mewujudkan masa depan rendah-karbon.
Tanpa basi-basi laporan itu menegaskan: perilaku manusia sendiri lah, selama bertahun-tahun, yang menyebabkan bumi dalam kondisi kritis seperti sekarang.
Ya, kali ini peringatannya sudah sangat jelas. Lampu merah alias code red untuk manusia. Ada beberapa dampak perubahan iklim yang sudah terjadi dan bahkan ada beberapa yang sudah tak bisa dihindari akan terjadi di masa depan.
(Lihat selengkapnya di artikel “Laporan Perubahan Iklim Ungkap Kondisi Bumi Makin Mengkhawatirkan.)
Meski demikian, laporan ini bukan bendera kuning bagi umat manusia. Masih ada harapan untuk mencegah dampak yang lebih buruk lagi.
Ini poin yang paling penting: jika kita bisa menurunkan emisi global sebanyak 50 persen hingga 2030, dan mencapai net zero pada 2050, maka kita punya kesempatan mencegah dampak terburuk.
Para ilmuwan yakin bahwa masih ada kesempatan untuk mencegah pemanasan global melampaui kenaikan 1.5 derajat Celcius.
Maisa Rojas Corradi, salah satu ilmuwan yang menyusun laporan IPCC itu, mengatakan: (mencegah kenaikan 1.5oC) bisa terjadi asal ada pembatasan skala besar yang dilakukan segera dan dalam tempo sesingkat-singkatnya untuk semua emisi gas rumah kaca.
Dr. Friederike Otto, juga salah satu ilmuwan penyusun laporan IPCC, mengatakan ini bukan akhir dunia. “Bagaimana kita melakukannya? Stop menggunakan bahan bakar fosil untuk transportasi, listrik dan penghangat. Berganti ke kendaraan listrik. Tanam lebih banyak pohon. Hentikan pembakaran Aamzon,” ia menyebut beberapa contoh.
Apa yang diungkapkan kedua ilmuwan tadi memang benar. Namun di tingkat perseorangan, apa sebenarnya yang bisa kita lakukan?
Tentunya, ini semua dimulai dari kesadaran diri dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Termasuk membatasi konsumsi energi dan konsumsi lainnya, tidak membeli kendaraan berbahan bakar fosil dan banyak lagi.
Tapi lebih dari itu, ada hal penting yang bisa kita lakukan. Seperti diungkap komunikator sains, Hank Green dalam video esay-nya:
“Hal paling penting yang bisa dilakukan siapapun sekarang adalah memastikan kita tahu apa saja peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini,” ujarnya.
Ya, sebagai anggota masyarakat, kita perlu tahu apa saja kebijakan yang sudah dan akan ditetapkan pemerintah untuk mengatasi krisis yang akan berdampak pada semua orang ini. Ini adalah langkah pertama yang penting untuk kita bisa mendorong pemerintah agar bergerak mengatasinya.
Secara umum, seperti dijelaskan Hank Green dalam video tersebut, ada dua kategori kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintahan:
Carbon Pricing: Ini mencakup berbagai jenis kebijakan untuk membatasi emisi gas rumah kaca dengan menambahkan biaya, misalnya melalui:
Standards, Investment, Justice (SIJ): Ini mencakup berbagai kebijakan yang dibuat untuk menangani masalah spesifik. Misalnya:
Kebijakan carbon trading alias perdagangan karbon adalah salah satu yang sedang dipertimbangkan di Indonesia. Perdagangan karbon di Indonesia dinilai memiliki potensi pendapatan yang cukup besar, terutama dari sektor lahan maupun energi.
Meski demikian, ada beberapa tantangan penerapan kebijakan perdagangan karbon di Indonesia. Kendala ada di sisi industri dan kebijakan.
Dari sisi kebijakan, Staff Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengatakan untuk Peraturan Presiden mengenai nilai karbon sedang disiapkan, dan akan mencakup setidaknya dua instrumen perdagangan:
Sementara itu, ada dua jenis instrumen non-perdagangan: pajak karbon dan result based payment. “Pajak karbon akan secara tidak langsung menaruh floor price pada saat bursa atau pasar karbon di Indonesia sudah mulai berkembang,” ujarnya.
Tentu saja mengatasi masalah krisis iklim ini tidak mudah. Selain rumit, isu ini juga sangat mendesak. Untuk menyelesaikannya, tidak cukup hanya satu pihak, semua negara di dunia harus bersatu dalam upaya mengatasinya.
Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah memahaminya. Kemudian, kita bisa bertanya lebih jauh: apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mengatasinya.
Yakinlah, harapan itu masih ada. Namun kita harus bertindak segera. (E01)