Titik Temu
Kemasan Saset Memang Praktis, Tapi Sampahnya Bikin Menangis 
Editorial Cast | 02.16.2022

Hampir setiap produk FMCG (fast-moving consumer goods), tersedia versi kemasan sasetnya. Mulai dari sampo, deterjen, kecap, saus tomat, selai, dan banyak produk lainnya, tersedia dalam kemasan kecil yang praktis, murah, dan dimaksudkan untuk sekali pakai. Tapi, dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan dari sampah kemasan saset sungguh berbahaya.

Lebih dari 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahun, dan lebih dari 90% berakhir di tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan sampah, insinerator, di darat, serta saluran air.

Saset, adalah jenis sampah plastik yang tidak begitu disukai oleh para pengusaha daur ulang. Limbah ini memiliki kemasan multilayer dan setiap kemasan berisi sekitar 3-4 lapisan yang terdiri dari lapisan terdalam warna bening, aluminium foil, lapisan gambar, dan lapisan laminasi. 

Hal ini mengakibatkan pengusaha malas mengupas lapisan kemasan saset satu per satu. Tak heran, jenis sampah ini biasanya ditolak. Para pemulung pun ogah repot mengumpulkannya. 

Bahaya sampah kemasan saset

Menurut laporan terbaru Greenpeace yang berjudul Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions, 855 miliar saset terjual di pasar global pada tahun 2020. Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50%. Pada 2027, jumlah saset yang terjual diprediksi mencapai 1,3 triliun. 

Peneliti ECOTON, Eka Chlara Budiarti, menjelaskan bahaya sampah plastik saset sudah banyak tersebar di lingkungan, bahkan sudah masuk ke badan air sungai yang menjadi sumber bahan baku air PDAM bagi jutaan pelanggan. 

“Secara garis besar, bahaya sampah plastik saset ada dua, yaitu fisik dan kimia,” kata Chlara seperti dikutip dari Zero Waste Indonesia Alliance

Secara fisik, sampah saset dapat menjadi mikroplastik. Mikroplastik adalah remah-remah atau potongan plastik berukuran kurang dari 5 milimeter. Akibatnya, mikroplastik tersebut tidak dapat disaring oleh PDAM dan terbawa ke jaringan pipa distribusinya, dan otomatis berdampak pada lingkungan yang tercemar. 

Riset ECOTON pada 2018-2020 mengidentifikasi mikroplastik dalam tinja 102 peserta yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. ECOTON juga telah mengidentifikasi polimer dan menemukan bahwa sebagian besar adalah polimer EVOH, salah satunya digunakan pada lapisan paling dalam kemasan saset. 

“Ini juga membuktikan bahwa plastik kini sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Dari mana asalnya? Dari jalur makanan, udara yang kita hirup dan paparan plastik,” kata Chlara. 

Secara kimia, plastik saset mengandung senyawa kimia berbahaya. Ada plasticizer yang telah dikonfirmasi oleh peneliti sebagai senyawa pengganggu hormon seperti BPA, ftalat, dan sebagainya. Tidak hanya itu, ada beberapa bahan lain yang ditambahkan ke dalam plastik seperti dioksin, senyawa perflourinating, retardants dan lain-lain. 

Jika saset terurai menjadi mikroplastik, mikroplastik tersebut sangat rentan dikonsumsi oleh makhluk hidup di laut seperti plankton. Jika sudah termakan oleh plankton, maka mikroplastik berpotensi masuk ke dalam rantai makanan dan akhirnya sampai ke manusia. 

Selain itu, sampah saset juga bisa melukai tumbuhan. Jika terbawa air sungai, misalnya akan tersangkut di akar mangrove seperti yang ditemukan oleh tim ECOTON. Ini berbahaya, karena bisa membuat tanaman mangrove sulit bernafas.

Ditambah lagi, sampah kemasan saset berpotensi untuk dibakar karena jumlahnya makin bertambah dan tidak bisa dikendalikan. Akibatnya, pembakaran sampah saset akan menimbulkan pencemaran udara mulai dari PM 2.5 (partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron) hingga dioksin yang berbahaya.

Membereskan masalah 

Dengan meningkatnya kesadaran konsumen tentang bahaya yang ditimbulkan saset, perusahaan FMCG harus melakukan sesuatu. Unilever misalnya, berupaya meluncurkan program untuk membantu menciptakan nilai bagi produk limbah saset sehingga ada insentif bagi masyarakat yang mengumpulkannya.

Pada 2017, Unilever meluncuran pabrik percontohan dan memperkenalkan CreaSolv sebagai solusi daur ulang kemasan saset. Program ini diterapkan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Namun, sebuah penelitian di Indonesia baru-baru ini menemukan bahwa program ini tidak berjalan lancar karena berbagai tantangan, seperti logistik, keuangan, dan tantangan teknis lainnya. 

Di Indonesia, sampah plastik sachet merupakan 16% dari sampah plastik yang berjumlah 768.000 ton per tahun. Unilever sejatinya menargetkan bisa mengumpulkan 1.500 ton limbah saset pada tahun 2019 dan 5.000 ton pada tahun 2020, tetapi program tersebut dihentikan setelah dua tahun. 

Tentunya kita semua berharap masalah sampah saset segera teratasi. Walaupun saat ini banyak kampanye tentang pengurangan penggunaan sachet, disebutkan peneliti ECOTON Eka Chlara Budiarti hal ini tidak cukup jika produsen tidak menerapkan EPR (extended producer responsibility). 

Tidak hanya peran produsen, peran pemerintah dalam pelayanan pengangkutan sampah juga diperlukan. Pelayanan persampahan harus didesentralisasikan, agar sampah plastik, khususnya jenis saset, tidak mencemari lingkungan tanah dan air.

Selain itu, hindari perencanaan pengelolaan sampah berdasarkan solusi palsu, seperti pembakaran sampah dan daur ulang bahan kimia, karena akan menggantikan pencemaran limbah saset dengan pencemaran udara dan limbah B3. (E03)