Titik Temu
Kebijakan Biodiesel di Indonesia untuk Hasilkan Manfaat Ekonomi dan Lingkungan
Editorial Cast | 04.18.2022

Pengembangan biodiesel di Indonesia memiliki peran strategis dan bisa memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerapkan kebijakan mandatori BBN (Bahan Bakar Nabati) biodiesel 30% atau B30. 

Menurut Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, penerapan kebijakan mandatori ini dilatarbelakang beberapa hal, seperti mengurangi defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor BBM, meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional, hingga memberi nilai tambah pada perekonomian domestik berbasis pertanian. 

“Penerapan kebijakan ini juga diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk mengurangi emisi GRK (gas rumah kaca),” tutur Edi dalam diskusi Indonesia Data and Economic (IDE) Conference Katadata 2022 yang bertajuk “Green Circular Economy: Utilizing Used Cooking Oil (UCO) as a Low Emission Feedstock for Sustainable Biofuel” yang digelar secara virtual. 

Sebagai informasi, program mandatori BBN B30 adalah program pemerintah yang mewajibakan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis solar. Hasil pencampuran itu lantas menghasilkan produk Biosolar B30. 

Nantinya, kewajiban ini akan diterapkan untuk beberapa sektor secara bertahap hingga 2025, seperti usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, dan Pelayanan Umum (PSO). Kewajiban ini juga akan diterapkan untuk sektor transportasi non-PSO, pembangkit listrik, serta industri dan komersial. 

“Nantinya, pengembangan BBN ini juga tidak terbatas pada biodiesel, tapi termasuk bioethanol, bioavtur, dan HVO. Pengembangan program BBN ini juga tidak terbatas pada pengusaha skala besar, tapi juga didorong pada pengembangan yang berbasis kerakyatan,” Edi melanjutkan. 

Pengembangan biodiesel juga tidak akan berhenti pada B30. Kementerian ESDM berencana untuk meningkatkan tingkat pencampuran lebih tinggi dengan menerapkan bahan bakar hijau. Saat ini, kajian komprehensif sedang dilakukan, mulai dari menyiapkan kajian tekno ekonomi, kerangka regulasi, fasilitas insenstif, infrastruktur, serta pengembangan industri pendukung. 

Penerapan IBSI

Edi juga menuturkan, Kementerian ESDM tengah mengembangkan standar baru yang diberi nama Indonesia Bioenergy Sustainability Indicator (IBSI). Lewat standar ini, proses pemenuhan energi baru dan terbarukan, termasuk dari biodiesel harus memenuhi tiga aspek.

Aspek pertama adalah indikator lingkungan yang mencakup rendah emisi, minim limbah, serta bisa ditelusuri bahan bakunya. Kedua, indikator sosial, yakni sumber energi itu harus mampu mendukung pendapatan masyarakat, berperan dalam peningkatan tenaga kerja, dan sumber bahan baku ini bisa digunakan untuk pengembangan layanan energi baru terbarukan. 

Terahir, ada indikator ekonomi yang meliputi infrastruktur maupun logistic untuk distribusi bioenergi, nilai tambah dari bioenergi, termasuk memenuhi neraca perimbangan energi. Menurut Edi, IBSI akan mulai diimplementasikan pada biodiesel plant secara volunteer di 4 BU BBN mulai tahun ini. 

Pemanfaatan UCO

Menurut Edi, salah satu yang kini juga dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel adalah UCO (used cooking oil) atau biasa dikenal sebagai minyak jelantah. Ia mengatakan, UCO asal Indonesia telah banyak dimanfaatkan dan menjadi salah komoditi ekspor ke beberapa negara, seperti Finlandia, Amerika Serikat, Jepang, termasuk Korea Selatan. 

Pemanfaatan UCO juga berpotensi karena konsumsi minyak goreng rumah tangga 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta KL. Dengan jumlah tersebut, Indonesia memiliki potensi menghasilkan minyak jelantah sebesar 3 juta KL per tahun. 

“Jika dikelola dengan baik, dapat memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional,” ujar Edi menjelaskan. Selain itu, biodiesel yang dihasilkan dari UCO memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun ekspor. 

Ia menuturkan, pemanfaatan biodiesel dari UCO dapat menghemat biaya produksi hingga 35% dibandingkan dengan biodiesel berbasis CPO. Belum lagi, pemanfaatan biodiesel dengan UCO dapat mengurangi 91,7% emisi CO2, jika dibandingkan solar. 

“Beberapa keutungan menggunakan UCO untuk biofuel, seperti tanpa riwayat karbon, meminimalkan pembukaan lahan, meningkatkan kesehatan masyarakat, mendorong ekonomi sirkular, serta secara teknologi dan potensi sangat mungkin dikembangkan,” tutur Edi melanjutkan. 

Kendati demikian, ada beberapa tantangan yang muncul seiring pengembangan UCO sebagai biofuel. Salah satunya adalah fluktuasi harga minyak jelantah yang relatif tinggi hingga Rp6.000 per liter, mekanisme pengumpulan dari rantai pasok, terutama yang melibatkan masyarakat dan pemetaan potensi. 

Untuk itu, Edi menuturkan, pengembangan UCO menjadi biofuel ini memerlukan sinergi pentahelix dari beberapa pihak, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, Pelaku Usaha, Lembaga Litbang, media, serta masyarakat. (E04)