Pengembangan kendaraan listrik untuk mendukung mobilitas manusia yang lebih bersih dan hijau ternyata tidak hanya untuk kendaraan darat, seperti mobil ataupun motor. Sejak lama, pengembangan kapal yang mengandalkan baterai ternyata sudah dikembangkan.
Sejarah mencatat, pada 1834, seorang Moritz von Jacobi asal Prussia (sekarang Rusia) sempat mengembangkan motor listrik yang dipasang di perahu dayung. Meski saat itu masih ditemukan banyak kendala karena ukuran baterai yang terbilang besar, tapi pengembangan kapal listrik tetap dilakukan.
Harapan mengembangkan kapal bertenaga ramah lingkungan ternyata bukan hanya milik Jacobi. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pihak mulai mengembangkan kapal listrik bertenaga surya. Pengembangan ini tidak lepas dari turunnya harga baterai lithium-ion dalam beberapa tahun terakhir, sekaligus upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Mirip dengan prinsip pemanfaatan tenaga surya untuk listrik yang dipakai di perangkat lainnya, kapal listrik bertenaga surya memanfaatkan panel surya untuk menghasilkan energi yang lantas disimpan dalam baterai. Selanjutnya, pengendali motor akan mengubah arus DC baterai menjadi AC yang terhubung dengan sumbu motor sebagai penggerak kapal.
Mengingat kapal listrik tidak menggunakan mesin diesel, jenis kapal ini memiliki sejumlah keunggulan. Mulai dari suara mesin yang tidak bising, lebih bersih, tidak membutuhkan banyak perawatan, mempunyai kapasitas regenerasi, dan ringan. Sebagai gambaran, sistem penggerak kapal berbasis listrik memiliki bobot 30% lebih ringan dari mesin diesel.
Selain itu, komponen pada kapal listrik biasanya lebih sedikit jika dibandingkan kapal diesel yang memiliki ribuan komponen. Karenanya, kapal listrik tidak membutuhkan biaya perawatan yang besar. Menurut perhitungan, biaya perawatan untuk kapal listrik sekitar 1/20 dari biaya perawatan yang dikeluarkan untuk kapal dengan mesin diesel dalam 10 tahun pertama.
Hal itu dimungkinkan karena tidak ada oli atau filter yang perlu diganti. Selain itu, risiko menyimpan bahan bakar atau diesel dalam kapal juga lebih tinggi ketimbang baterai. Belum lagi konsumsi diesel untuk bahan bakar yang membutuhkan biaya tidak sedikit, berbeda dari kapal listrik berbasis tenaga surya yang sumbernya relatif minim biaya, yaitu sinar Matahari.
Namun perlu diingat, meski menjanjikan, kapal listrik juga memiliki kelemahan. Salah satu yang paling utama adalah perbedaan jangkauan energi jika dibandingkan dengan mesin diesel. Mesin berbahan bakar bensin atau fosil memiliki kepadatan energi 100 kali lipat lebih tinggi dibandingkan baterai lithium, sehingga perlu sebuah baterai berukuran besar untuk bisa mengimbangi kemampuan tersebut.
Tidak hanya itu, meski harga baterai lithium-ion terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, biaya awal yang dikeluarkan untuk mesin berbasis listrik lebih mahal ketimbang mesin berbahan bakar fosil.
Karena itu, sejumlah perusahaan memanfaatkan tenaga surya sebagai solusi mengatasi hal tersebut. Meski demikian, adopsi kapal listrik untuk pemanfaatan yang lebih luas masih membutuhkan waktu mengingat biaya pengembangan yang cukup mahal di awal dan ketergantungan pada bahan bakar fosil masih tinggi.
Meski banyak tantangan, tapi tidak berarti pengembangan kapal listrik bertenaga surya berjalan di tempat. Salah satu perusahaan bernama Silent Yacht berhasil mengembangkan dan memasarkan sejumlah model yacht listrik bertenaga surya.
Selain itu, ada pula perusahaan serupa, Swiss Sustainable Yachts, yang mengembangkan Aquon One. Yacht ini dikembangkan dengan menggabungkan listrik dan hidrogen sebagai daya geraknya. Jadi, ada baterai untuk kebutuhan kapal jarak pendek dan pengisian kebutuhan listrik, serta hidrogen yang dikompres untuk kebutuhan energi yang lebih panjang.
Namun, selain yacht yang dikenal cukup mahal dan mewah, penggunaan massal kapal listrik bertenaga surya juga bisa dikatakan berhasil di India. Di negara tersebut, ada kapal feri bernama Aditya yang kerap digunakan untuk melayani masyarakat.
Aditya merupakan kapal feri milik Kerala State Water Transport Departement (KSWTD), yang dikembangkan oleh Navalt Boats. Kapal feri ini melayani perjalanan di distrik Alappuzha sejak Januari 2017. Sejak saat itu, dalam sehari kapal ini bisa melayani 22 perjalanan dengan 75 penumpang di dalamnya, yang berarti sekitar 580 ribu orang per tahun.
Menurut perhitungan, perjalanan menggunakan Aditya bisa mengurangi penggunaan 58.000 liter diesel dalam setahun, sekaligus mengurangi emisi karbon. Berkat inovasi yang ditawarkan, Aditya pun mendapatkan penghargaan dari Gustave Trouve Award untuk kategori Excellence in Electric Boats and Boating.
Untuk diketahui, Gustave Trouve Award merupakan penghargaan yang diberikan pada individu maupun perusahaan yang mengembangkan inovasi untuk kendaraan listrik. Penghargaan ini diberikan untuk menghormati Gustave Trouve, seorang inventor yang mendorong pengembangan kendaraan listrik sejak abad ke-19. (E04)