Jargon “Merdeka Belajar” yang digunakan Sekolah Cikal sejak 2015, kini dipakai juga oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) secara luas. Pendiri Cikal Najeela Shihab berbagi pemikirannya tentang konsep Merdeka Belajar yang masih sering disalahpahami.
“Kemerdekaan dalam pendidikan itu sebetulnya sudah disuarakan oleh para ahli pendidikan sejak zaman dahulu, dari Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Maria Montessori, tokoh-tokoh pendidikan berbicara tentang itu,” kata Najeela saat berbincang dengan CAST Foundation dalam diskusi bertopik Re: thinking Our Education.
Disebutkan Najeela, tujuan pendidikan sesungguhnya adalah agar subjeknya, yaitu murid-murid yang sedang belajar, untuk menjadi individu-individu yang berdaya.
“Jadi kemerdekaan dalam pendidikan bukan soal kebebasan semata, tetapi bagaimana agar makin banyak yang punya otonomi, makin banyak yang kemudian bisa punya cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan dalam pendidikan,” ujarnya.
Najeela menerangkan bahwa merdeka belajar merupakan fondasi belajar sepanjang hayat. Menurutnya ada tiga kompetensi yang diajarkan melalui konsep Merdeka Belajar.
“Pada saat kita bicara Merdeka Belajar itu, kita ngomongin apa sih? Sebenarnya kita menyampaikan konsep self-regulated learner. Bahwa setiap yang belajar itu punya kemampuan mengendalikan proses belajarnya,” ujarnya.
Dimensi pertama adalah komitmen. Menurut putri sulung cendekiawan Quraish Shihab tersebut, Merdeka Belajar mengajarkan seseorang untuk memiliki komitmen terhadap tujuan belajar.
“Orang yang belajar itu harus punya komitmen, tahu tujuannya apa, ngapain saya belajar ini. Kalau dalam konteks guru, ngapain saya ngajar ini, target itu harus disadari oleh individunya,” jelas Najeela.
Yang kedua, Merdeka Belajar menurutnya melahirkan kemandirian. Artinya, sukses dan gagalnya proses belajar ditentukan oleh diri sendiri.
“Jadi dia punya self reliance, dia bisa mengatasi berbagai tantangan, dan bisa terus menerus menghadapi kesulitan, tidak menyalahkan atau bergantung pada orang lain dalam proses belajarnya,” terangnya.
Dimensi terakhir adalah refleksi, yaitu kemampuan metakognisi yang memantau proses belajar untuk mengetahui kesulitan dan menentukan strategi yang bisa dilakukan.
“Berani untuk refleksi melihat keunikannya, melihat kekuatannya, juga tahu kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki. Itu merdeka dalam belajar dalam konteks individu,” katanya.
Sedangkan jika berbicara konsep Merdeka Belajar yang digunakan Kemendikbud, Najeela mengatakan konsep ini berada dalam konteks ekosistem pendidikan yang jauh lebih besar.
Najeela sama sekali tidak mempersoalkan slogan Merdeka Belajar kini dipakai menjadi salah satu kebijakan baru yang dicanangkan Mendikbud Nadiem Makarim. Dia justru berharap Merdeka Belajar bisa menggema lebih keras dan berdampak.
“Selama ini, kalau kita lihat konteks pendidikan Indonesia, kata yang paling sering diucapkan adalah standardisasi, seolah-olah ada satu cara yang sama, yang benar, yang harus dipraktekkan atau berdasarkan regulasi yang sifatnya top down,” tegasnya.
Dia mengatakan, jangan sampai pendidikan diartikan sama dengan persekolahan. Disebutkannya, pendidikan merupakan proses belajar yang harus terjadi sepanjang hayat, bukan sekadar berbicara tentang sistem pendidikan atau formalisasi seperti mendapatkan ijazah, naik kelas, atau sukses dalam ujian. Pasalnya, indikator keberhasilan proses belajar jauh lebih kompleks.
“Tandanya kita belajar kan sebetulnya kompetensi, bisa punya sikap, pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan bisa beraksi di luar sistem pendidikannya, bisa mentransfer apa yang dipelajari dalam konteks pendidikan dalam ruang kelas, dalam situasi belajar ke kehidupan sehari-hari. Kalau nggak, pada akhirnya sistem pendidikan kita hanya akan jadi self-validating. Karena kita sekolah hanya untuk berlanjut ke jenjang berikutnya, dari SMP, SMA, dan seterusnya,” urai Najeela.
Dia berharap, dengan konsep Merdeka Belajar kini menjadi bagian dari ekosistem pendidikan, akan ada lebih banyak pihak yang mengambil peran dalam membereskan sistem pendidikan yang menjadi PR bersama.
“Saya harap nantinya banyak yang melakukan praktik-praktik baik di konteksnya masing-masing, dan pada akhirnya kita bisa punya solusi-solusi. Kita bisa punya berbagai inspirasi yang sifatnya lokal, dimulai dari si para penggerak perubahan, sekolah-sekolah, atau satuan pendidikan perubahan, dan mempengaruhi semua yang ada di sekitarnya,” simpulnya. (E03)