Titik Temu
Jam Tangan Ramah Lingkungan dan Kisah Kejayaan Nusantara 
Editorial Cast | 03.09.2022

Kiprah generasi muda yang berupaya menunjukkan budaya bangsa Indonesia dan mengangkat kembali kisah-kisah Nusantara harus diacungi jempol. Salah satunya dilakukan oleh startup asal Bandung, Pala Nusantara, yang memiliki semangat menghadirkan kejayaan Nusantara melalui produk jam tangan. 

Menurut Co-founder dan R&D Pala Nusantara, Slamet Riyadi, startup ini hadir dengan semangat untuk menghadirkan kembali kejayaan Indonesia ketika dikenal sebagai salah satu penghasil rempah-rempah terbesar. Pala pun menjadi salah satu rempah-rempah yang sangat dicari kala itu. 

Spirit itu dibawa kembali ke masa kini, dalam bentuk sebuah produk yang masuk dalam gaya hidup modern,” tutur Slamet dalam webinar AlterMatter yang membahas mengenai material berkelanjutan dan dampaknya bagi lingkungan. 

Dengan semangat tersebut, Pala Nusantara lalu membuat produk yang dibangun dari material khas Indonesia, seperti kayu dan kulit. Namun bukan itu saja, material yang dihasilkan pun harus ramah lingkungan dan prosesnya bisa dikerjakan oleh pengrajin yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. 

Slamet menuturkan, Pala Nusantara yang berdiri sejak 2017 sebenarnya bukan brand pertama yang membuat produk jam tangan kayu. Karenanya, mereka melakukan pendekatan yang berbeda agar dapat memiliki ciri khas, karakter, dan nilai tambah bagi konsumennya. 

Dalam hal ini, Pala Nusantara memilih untuk menghadirkan kisah budaya Indonesia yang lalu dituangkan ke dalam produk-produk mereka di awal, seperti Toraja, Jawa, dan Baduy. Penamaan itu ternyata tidak hanya sekadar menjadi pembeda, tapi membawa kisah dari masing-masing budaya di setiap produk. 

Sebagai contoh, model Baduy merupakan jam tangan warna biru yang menjadi ciri khas berpakaian suku Baduy. Sementara model Toraja dengan warna merah dianggap menggambarkan kerajinan ukiran kayu khas Toraja yang memang banyak berwarna merah. Begitu pula dengan model Jawa yang berwarna coklat, diadaptasi dari warna tanah yang menjadi simbol masyarakat Jawa dalam berpikir dan berperilaku. 

“Kekuatan kami di material dan storytelling, sehingga makin ke sini, produk yang kami bentuk memiliki value lain, yakni storytelling dan juga emosional. Jadi, tidak hanya memanfaatkan kayu yang menjadi material asal Indonesia, tapi juga ada emotional attachment dengang para penggunanya,” Slamet menjelaskan. 

Beralih ke material alternatif 

Seiring berkembangnya produk yang dihasilkan, Pala Nusantara lantas melakukan definisi ulang terhadap usaha yang mereka lakukan. Slamet mengisahkan, salah satu yang menjadi perhatian adalah penggunaan material kulit untuk produk mereka yang ternyata tidak ramah lingkungan.

“Lalu kami melakukan redefinisi, sehingga apa yang kami lakukan itu tidak pure business tapi juga bisa bertanggung jawab pada lingkungan. Tidak hanya material kulit, tapi juga bagaimana kami kemudian menggunakan material alternatif untuk kami olah,” tuturnya. 

Dalam hal ini, Pala Nusantara lantas memilih bio resin sebagai material alternatif yang secara proses mudah digunakan dan berdampak rendah pada lingkungan. “Selain durable, dalam proses produksinya juga tidak mencemari lingkungan, termasuk limbahnya,” kata Slamet. 

Selain itu, Pala Nusantara juga bekerja sama dengan Mycotech Lab untuk membuat material baru pengganti kulit. Mycotech Lab sendiri merupakan startup yang fokus pada pengembangan material alternatif, dan mengembangkan material alternatif dari jamur untuk menggantikan bahan kulit. 

Material baru menjadi pintu masuk bagi Pala Nusantara untuk menghasilkan produk yang lebih berkelanjutan. Bagaimana tidak, proses pembuatan material pengganti kulit ini hanya butuh waktu 5 hari, air 45 liter, serta 0,7 kilogram karbon dioksida. Berbeda dari produksi kulit yang membutuhkan waktu sekitar 2 tahun berternak sebelum kulit siap digunakan, jumlah air yang sangat banyak, serta menghasilkan sekitar 335.000 kilogram karbon dioksida. 

Tantangan pemanfaatan material alternatif

Meski pengembangan material ini berhasil dan bisa menjadi pengganti kulit untuk strap jam tangan, Pala Nusantara tetap mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, material ini harus memiliki ketahanan yang sama seperti kulit, karena jika tidak bisa tercapai akan sulit menggantikan kulit sebagai material alternatif. 

Selain itu, perlu diperhatikan pula cara untuk mengombinasikan beberapa komponen yang biasa digunakan dalam jam tangan dengan material ini. Hal lain yang menjadi perhatian adalah efek bagi penggguna–apakah menyebabkan iritasi atau efek lainnya. Selain itu, respons dari pengguna juga perlu diperhatikan–apakah mereka menganggap material alternatif ini sama seperti kulit atau menilainya lebih rendah. 

“Lalu, dampak terhadap lingkungan, bagaimana kemudian material ini mengubah atau memunculkan gaya hidup baru di ranah produk yang kamu buat dan social impact-nya. Sebab, kulit sudah menjadi industri besar, di mana Bandung dan daerah lain sekitar Jawa Barat merupakan wilayah penghasil kulit,” ungkap Slamet. 

Meski ada tantangan tersebut, ia mengatakan, respons dari para pengguna jam tangan Pala Nusantara ternyata positif. Mereka juga berhasil menggandeng komunitas di wilayah sekitar Bandung yang biasa bercocok tanam untuk menumbuhkan jamur yang siap digunakan sebagai material olahan. Menurut Slamet, kolaborasi Pala Nusantara dengan Mycotech Lab akan terus berlanjut, bahkan mereka akan melakukan ekspansi untuk mendukung produk yang sudah ada, seperti membuat strap untuk Apple Watch yang akan dirilis beberapa bulan ke depan. (E04)

Artikel ini merupakan bagian dari Seri Altermatter. Ketahui lebih lanjut tentang Project Altermatter.