Titik Temu
Jalur Rempah Nusantara, Titik Temu Budaya Indonesia dan Dunia
cast | 09.24.2021

Sejak ribuan tahun lalu, di era prakolonial, Indonesia sudah berperan penting sebagai jalur rempah. Pernyataan ini perlu bukti kuat dan pengakuan dari negara-negara lain di dunia. 

Itu sebabnya, sejak 2017, Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengusulkan jalur rempah-rempah sebagai Warisan Dunia UNESCO. Pengajuan ini berdasar pada gagasan bahwa rute tersebut adalah titik fokus pertukaran pengetahuan dan budaya.

“Karena kita paham bahwa sebenarnya kita (Indonesia) berkontribusi pada sesuatu di dunia, dari rempah-rempah ini,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Negeri Rempah Kumoratih Kushardjanto, bicara tentang mengapa Indonesia harus membuat UNESCO mengakui jalur rempah. 

Ratih juga menjadi pembicara dalam sesi online bertajuk “Tales of the Lands Beneath the Winds – How Spice Intoxicated the World” yang merupakan bagian dari ekshibisi seni Media Art Globale (MAG21), 11 September lalu. 

Ia menyebutkan, jalur rempah Indonesia, yang dulu masih disebut sebagai Nusantara, punya peran sama pentingnya seperti jalur sutra (silk road), jalur perdagangan kemenyan (incense road), dan banyak jalur perdagangan lainnya yang berkontribusi membentuk sejarah dunia. 

“Semua jalur ini berkontribusi pada pertukaran budaya. Saya rasa Pemerintah Indonesia harus memainkan peran penting dalam konteks global untuk memperkenalkan Indonesia sebagai salah satu negara penting yang berkontribusi sesuatu pada dunia,” jelasnya. 

Rempah asli Indonesia  

Indonesia memiliki alasan kuat untuk memaparkan mengapa jalur rempah Nusantara pantas menjadi warisan dunia. Jalur ini menjadi titik temu diplomasi budaya yang dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Ratih menjelaskan, jalur rempah-rempah global di Asia melalui Samudera Hindia ke Samudera Pasifik, menghubungkan tiga benua besar yaitu Asia, Afrika, dan Eropa, sehingga memiliki jejak peradaban yang signifikan.

Bicara tentang rempah-rempah, berdasarkan penelitian, Asia memiliki sekitar 400 hingga 500 spesies tanaman rempah dalam skala global. Untuk Asia Tenggara, setidaknya jumlahnya mendekati 275 spesies. 

“Itu (jumlah spesies) endemik dari Asia Tenggara. Jadi, bisa dibayangkan Indonesia yang merupakan wilayah terluas di Asia Tenggara, berapa banyak rempah-rempah yang telah digunakan selama berabad-abad sebagai obat, makanan, hingga pengawet. Itulah mengapa zaman dulu banyak orang di seluruh dunia, mencoba pergi ke Nusantara, untuk mendapatkan rempah-rempah karena sangat berharga,” urainya. 

Dari begitu banyak tanaman rempah yang tumbuh di Indonesia, beberapa di antaranya merupakan endemik, yaitu pala, cengkeh, dan kapur barus atau kamper. Tiga rempah endemik Indonesia tersebut telah diperdagangkan selama berabad-abad. 

Memahami keragaman lewat rempah-rempah

Sementara Indonesia sedang dalam proses mengajukan jalur rempah sebagai Warisan Dunia UNESCO, Ratih berharap orang Indonesia sendiri belajar memahami sejarah dan budaya negerinya. 

“Tantangannya adalah bagaimana membuat jalur rempah menjadi sesuatu yang semua orang memiliki pengetahuan yang sama tentang ini. Karena tidak ada gunanya jika ini (jalur rempah) menjadi Warisan Dunia, namun tidak terhubung dengan sejarah kita. Karena pengertian rempah-rempah ini bukan hanya sebagai komoditas,” ujarnya. 

Lebih dari itu, lanjut Ratih, jalur perdagangan rempah, sama seperti jalur perdagangan lainnya di masa lampau, sebenarnya adalah sebuah koridor budaya, di mana pertukaran dan pemahaman antarbudaya telah terjadi. 

“Kita juga belajar tentang keragaman kita sendiri. Jadi, itulah mengapa kita perlu belajar tentang keragaman kita melalui rempah-rempah ini. Itu poin utamanya. Orang Indonesia harus belajar tentang budaya sejarah identitas mereka sendiri, karena tanpa pertukaran ini, kita tidak akan beragam seperti sekarang,” tutupnya. (E03)