Titik Temu
Inovasi Batik “Bersih”, Lebih Menawan dan Ramah Lingkungan
cast | 10.05.2021

Sebagai warisan budaya yang diakui dunia, batik terus dijaga kelestariannya hingga kini, termasuk cara pembuatannya agar lebih “bersih” alias ramah lingkungan. Seperti apa?

Dalam satu dekade terakhir, para ahli menyoroti pembuatan batik yang dianggap kurang ramah lingkungan, lantaran menggunakan air, lilin, atau pewarna kimia maupun pemutih yang berlebihan.

Air limbah dari proses produksi batik umumnya bersifat karsinogenik, dapat mengendap dan merusak organ paru-paru hingga bisa menyebabkan kanker. Nah, air limbah ini kerap dibuang langsung ke sungai tanpa disaring lebih dahulu oleh pabrik batik.

Tidak hanya menimbulkan penyakit bagi manusia, air limbah batik juga bisa meracuni hewan dan mengakibatkan gagal panen akibat konsumsi air sungai yang tercemar.

Selain itu, ketergantungan industri batik pada bahan bakar minyak tanah dan konsumsi listrik pun membuat industri batik turut menyumbang emisi gas rumah kaca yang tinggi dibandingkan subsektor UKM lainnya.

Masalah lainnya, pabrik batik menggunakan air secara berlebihan. Cara ini bisa membuat kelangkaan air saat musim kemarau. Untuk mendapatkan air, kerap kali sumur digali di beberapa lokasi sehingga biaya produksi meningkat. Jika pabrik batik menggunakan sungai terdekat untuk mencuci produk batiknya, maka yang terjadi kualitas produk batik akan turun dan sungai tercemar.

Untuk itu, perlu solusi untuk menghadapi masalah tersebut, yakni dengan mengenalkan alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan untuk mengubah metode pembuatan batik yang tidak sehat.

“Beberapa studi meneliti proses waxing, ada juga tentang pemanfaatan pewarna alami, dan sejumlah penelitian tentang air limbah dari pewarna kimia. Namun secara keseluruhan, produksi batik berkelanjutan masih kurang, baik dari segi jumlah maupun inovasi,” tulis Indarti, peneliti dari Departemen Ekonomi Dalam Negeri Universitas Negeri Surabaya (UNS) dalam studinya tentang batik bertajuk Sustainable Batik Production: Review and Research Framework.

Bersama rekannya, Imami Arum Tri Rahayu dari Departemen Ekonomi Dalam Negeri UNS dan Li Hsun Peng dari Department of Creative Design National Yunlin University of Science and Technology Douliou, Taiwan, Indarti menyarankan perlunya sejumlah inovasi untuk membuat batik yang “bersih”.

Menurut mereka, inovasi tersebut perlu dibuat sedemikian rupa agar proses pembuatan batik tidak membuang banyak bahan kain, menggunakan pewarna alami yang tidak meracuni lingkungan, bisa mendaur ulang lilin yang sudah digunakan, serta hemat penggunaan air.

Inovasi batik “bersih”

Selain para ahli dan komunitas pemerhati batik, pemerintah pun berupaya mendorong produksi batik yang lebih ramah lingkungan. Melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) misalnya, sejak beberapa tahun lalu, Kemenperin aktif memberikan pelatihan kepada para pelaku industri batik di Tanah Air.

Salah satu fokus materi pelatihan yang diberikan adalah tentang proses pembuatan batik yang bersih. Tujuannya, menciptakan efisiensi pemakaian bahan baku, energi, dan hemat air, sehingga limbah yang dihasilkan lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan implementasi prinsip industri hijau yang dapat mendukung konsep ekonomi yang berkelanjutan.

Perkembangan batik ramah lingkungan saat ini sudah semakin maju, salah satunya dengan mulai diaplikasikannya zat pewarna alami. Ini juga sebagai strategi mengurangi impor bahan pewarna kimia,” kata Reni Yanita, Plt. Dirjen Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin.

Inovasi tersebut antara lain, menggunakan pengganti parafin dari bahan terbarukan, seperti turunan minyak sawit; memakai pewarna alami dari ekstrak berbagai kulit pohon, bunga, buah, dan daun; proses mordanting (pewarnaan) menggunakan kitosan yang memanfaatkan limbah kulit udang; menggunakan kompor dan canting listrik; serta pengelolaan limbah yang tidak merusak lingkungan.

Dengan cara-cara ini, industri batik “bersih” diharapkan dapat menciptakan efisiensi pemakaian bahan baku dan energi, menghasilkan limbah lebih sedikit dan tidak berbahaya, meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) industri batik, dan mengurangi impor parafin.

Strategi pemerintah

Pemerintah mendorong pembuatan batik ramah lingkungan dan berdaya saing. Adapun strategi pemerintah dalam memajukan industri batik ramah lingkungan dan berkelanjutan adalah: menyusun standar, labelisasi, dan sertifikasi produk batik seperti SNI batik dan Standar Industri Hijau; menyediakan lembaga uji dan kalibrasi industri batik, lembaga sertifikasi produk dan profesi pembatik; memberikan pelatihan tentang pemanfaatan teknologi dan praktik industri batik ramah lingkungan; menggelar program inkubasi startup di bidang batik; dan mendorong inovasi riset produk batik.

Untuk diketahui, batik memberi kontribusi yang besar pada perekonomian Indonesia. Data dari Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB), ekspor UKM batik telah menghasilkan total produksi senilai USD532,7 juta (sekitar Rp7,6 triliun) di tahun 2020. (E03)