Sektor kebijakan publik erat kaitannya dengan pemangku kepentingan. Utamanya dalam hal ini adalah pemerintah, karena kebijakan publik merupakan modal utama pemerintah menata masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
Lewat kebijakan publik, pemerintah memiliki kekuatan dan kewenangan hukum untuk mengatur masyarakat, termasuk memaksakan ketentuan yang telah ditetapkan. Meski ada unsur paksaan, hal ini bersifat sah dan legal karena didasari regulasi yang jelas untuk mencapai tujuan tertentu.
Namun seperti diketahui, dalam mencapai tujuan itu, ada permasalahan yang juga dihadapi pemerintah. Bahkan, persoalan masyarakat saat ini sudah semakin kompleks. Tidak hanya gap antar-kelas masyarakat yang semakin jauh. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat di Indonesia pun makin terpolarisasi.
Menurut relawan Think Policy, Felippa Amanta, pemerintah perlu melakukan sejumlah inovasi untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada, terutama masalah kesenjangan dalam masyarakat. Think Policy merupakan komunitas beranggotakan para profesional muda yang mendorong kolaborasi lintas sektor untuk kebijakan publik berbasis bukti dan empati.
Felippa mengatakan, salah satu inovasi yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun pemerintahan yang partisipatif. “Indonesia modelnya sudah desentralisasi, sehingga sudah lebih dekat ke masyarakat. Tapi kenyataannya, kadang masyarakat yang dilayani belum terlibat langsung dalam pembentuk kebijakan publik,” tuturnya dalam sesi Re:shaping Our Governance yang diadakan CAST Foundation.
Untuk itu, Think Policy berusaha mendorong pembuatan kebijakan publik yang lebih partisipatif dan inklusif–yang tidak hanya mendengarkan suara dari pihak yang memiliki modal, tapi juga suara dari mayarakat serta orang-orang yang belum memiliki privilege khusus.
Selain itu, kata Felippa, Think Policy juga mendorong pemerintahan yang berbasis pada sains, bukan didominasi oleh keputusan politik. Pemerintah yang berbasis sains ini memiliki dasar bukti-bukti nyata yang sudah dikaji dengan metode yang kuat dan saintifik.
Hal lain yang juga penting, menurut Felippa, adalah pemerintahan yang sustainable. Pemerintah yang baik tidak hanya bekerja untuk menjawab tantangan saat ini, tapi juga harus berpikir jangka panjang.
“Jadi, bukan hanya membenahi masalah yang muncul sekarang, tapi sudah mempersiapkan tata kelola yang lebih tahan dari masalah-masalah yang kita tahu akan terjadi di masa depan. Contohnya, krisis alam termasuk ketimpangan yang semakin besar. Tata kelola itu tidak hanya menjawab yang sekarang, tapi juga mencegah hal serupa terjadi di masa depan,” ujarnya.
Think Policy menilai perlunya tiga kriteria dasar yang dibutuhkan pemimpin untuk menghasilkan kebijakan publik yang inklusif dan menyeluruh, yakni analitis atau kritis, peduli, dan sikap praktis.
Soal kriteria analitis, Felippa menuturkan, seorang pemimpin harus mampu mencari akar masalah dan membedakannya dari sekadar symptoms (gejala) saja. “Harus bisa membedakan dengan kritis dan taktis untuk mendesain kebijakan publik. Kira-kira kalau ada masalah apa, bisa ditentukan instrumen mana yang tepat untuk mengatasinya,” tuturnya.
Selain itu, rasa kepedulian itu juga penting dan mendasar bagi seorang pemimpin. Jadi, kebijakan publik itu harus didasari oleh empati terhadap komunitas yang ingin dilayani, sehingga perlu memikirkan untuk memegang teguh martabat komunitas tersebut, termasuk keadilan yang harus dihadirkan di sana.
“Yang ketiga itu praktis. Di Indonesia, ada tantangan politik dan birokrasi. Jadi, kepemimpinan itu harus praktis, seperti mengkomunikasikan ide-ide kita, mengkomunikasi rekomendasi dengan baik, termasuk memahami peta pemangku kepetingan, peta politik dan birokrasi Indonesia, sehingga bisa menghubungi orang yang tepat untuk menuju tujuan bersama,” ujar Felippa.
Inovasi dalam pemerintahan diharapkan juga bisa mendorong anak-anak muda lebih optimistis serta peduli dan makin menaruh perhatian pada kebijakan publik. (E04)