Titik Temu
Fast Fashion Vs Slow Fashion, Ini Bedanya 
Editorial Cast | 05.19.2022

Di dunia fashion, ada istilah menarik yaitu fast fashion dan slow fashion. Keduanya sering dibanding-bandingkan, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan. Sebenarnya, apa sih beda keduanya?

Untuk diketahui, evolusi material yang berkelanjutan sebagian besar merupakan respons terhadap kebutuhan untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri mode, salah satu pencemar terburuk bagi Bumi. 

“Industri fashion bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global tahunan, lebih dari gabungan semua penerbangan internasional dan pelayaran maritim, dan bertanggung jawab atas sekitar 20% air limbah di seluruh dunia yang] erasal dari pewarnaan dan pengolahan kain,” demikian berdasarkan data Ellen MacArthur Foundation.

Industri fashion juga terkait dengan deforestasi. Salah satunya deforestasi Amazon. Pangsa pasar Amazon Brasil yang terlibat dalam produksi kulit di negara itu telah tumbuh sejak tahun 2000 yang ketika itu hanya 7%, melonjak menjadi 27% pada 2010, dan menjadi 43% pada 2020.

Menurut sebuah penelitian yang dirilis Slow Factory pada November lalu, lebih dari 100 merek global bekerja dengan produsen dan penyamakan kulit yang bersumber dari perusahaan yang berafiliasi dengan ternak yang dipelihara di lahan Amazon yang ditebangi. Merek fashion global yang turut andil di antaranya Ralph Lauren, Tommy Hilfiger, Prada, Nike, Zara, H&M, Louis Vuitton, Coach, dan Tory Burch.

Apa itu fast fashion

Sesuai namanya, fast fashion adalah istilah untuk menyebut konsep pergantian mode yang cepat dalam kurun waktu tertentu. Model bisnis ini berjalan ketika banyak koleksi busana dihadirkan ke pasar secepat mungkin. Biasanya, koleksi ini didasarkan dengan mengikuti tren terbaru atau apa yang sedang populer di kalangan selebriti dan desainer. 

Untuk memanfaatkan momen yang ada, tren ini kemudian ditiru dalam waktu yang singkat, diproduksi massal dengan kualitas rendah, serta dijual dengan harga yang terjangkau. Tujuannya tentu saja agar bisa secepat mungkin dibawa dan dijual ke pasar sebelum tren tersebut hilang. 

Nah, produk dari industri fast fashion ini kerap menuai kritik karena dampaknya yang buruk terhadap lingkungan. Pasalnya, banyak pakaian hasil produksi industri fast fashion seringkali mengorbankan lingkungan dan pekerja. 

Bahan kain yang digunakan industri fast fashion juga berdampak besar pada lingkungan. Contohnya serat kimia seperti poliester. Serat-serat tersebut terbuat dari minyak mentah yang mengeluarkan karbon dioksida dalam jumlah besar selama produksi. 

Selain itu, pengaruh siklus produksi yang pendek dan waktu pengiriman yang makin cepat akhirnya membuat perlakuan terhadap para karyawan tidak manusiawi karena mereka dituntut bekerja dua kali lipat lebih cepat. 

Mengenal slow fashion

Kebalikannya dari fast fashion, slow fashion didefinisikan sebagai gerakan di industri mode yang mendukung pembuatan pakaian berdasarkan kualitas dan daya tahannya yang mempertahankan unsur etis serta lingkungan sekitar. 

Meski dibanderol dengan harga tinggi, hal ini sepadan dengan kualitasnya yang jauh lebih baik dibandingkan produk fast fashion karena dibuat dengan tangan (handmade) dan butuh waktu lama dalam proses pembuatannya. 

Yang menarik, slow fashion juga kerap menggunakan bahan-bahan alami atau biomaterial. Biasanya bahan-bahan yang dipakai adalah serat alami dari bahan organik dan daur ulang, serta lebih sedikit penggunaan bahan kimia dan pewarna. Dengan demikian, limbah yang dihasilkan pun tidak menimbulkan dampak yang signifikan terhadap lingkungan. 

Untuk mempersingkat rantai pasokan, produksi slow fashion sering dilakukan langsung ke produsen lokal. Mitra manufaktur lokal ini biasanya menawarkan gaji dan kondisi kerja yang jauh lebih baik bagi para pekerja mereka dibandingkan dengan bekerja di pabrik.

Pendekatan berkelanjutan ini menyita perhatian banyak orang karena dinilai meningkatkan kesadaran akan dampak industri fashion. Apalagi, adanya perubahan iklim yang semakin besar membuat banyak label fashion memilih pendekatan slow fashion. Pada intinya, konsep slow fashion lebih mengedepankan kualitas ketimbang kuantitas. 

SukkhaCitta dan Bell Society dari Indonesia 

Di Indonesia, kita punya dua contoh pelaku industri slow fashion yang tidak bisa diremehkan kiprah dan kontribusinya. Mereka adalah SukkhaCitta dan Bell Society

Denica Riadini-Flesch mendirikan SukkhaCitta sebagai salah satu upayanya dalam memperbaiki sistem fashion yang sudah terlalu tercemar. Melalui SukkhaCitta, ia menyuarakan gerakan #MadeRight untuk mengajak para pelaku industri fashion melakukan praktik industri yang lebih beretika, nomor satu adalah pemberian upah yang layak bagi para pengrajin. 

Pemilihan material yang ramah lingkungan juga merupakan bagian dari gerakan ini, yaitu dengan menggunakan serat-serat dan pewarna alami dari tumbuhan agar lingkungan maupun para pekerja tidak terpapar zat kimia berbahaya. 

Sedangkan Bell Society yang merupakan startup binaan LPIK ITB, mengolah recycle leather vegan (hasil daur ulang kulit vegan dari limbah-limbah pertanian) menjadi lembaran selulosa bernama misel. 

Misel diproduksi melalui proses penemuan dan inovasi yang menghasilkan lembaran selulosa yang memiliki kekuatan dan tekstur yang menyerupai kulit, sehingga dapat digunakan sebagai bahan alternatif dalam industri fashion dan furnitur. 

Kini, Bell Society berkolaborasi dengan beberapa merek lokal untuk menerapkan teknologi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bell Society juga bermitra dengan Kopi Gunung Tilu, di mana misel diolah dari hasil kupasan kulit kopi yang tidak terpakai dan dikumpulkan. 

Pewarnaan bahan misel juga menggunakan bahan-bahan alami sehingga menghasilkan warna yang unik. Perpaduan antara misel dengan kain alami dalam koleksi ini memiliki tujuan untuk mewujudkan masa depan industri fashion yang lebih baik dan berkelanjutan. 

Ada banyak contoh lain dari inisiatif biomaterial mode yang sekarang sedang berlangsung dengan perusahaan swasta di seluruh dunia. Berikut beberapa contoh inovatif:

Kulit vegan dan kulit eksotis

Mylo (AS): Perusahaan bioteknologi Bolt Threads telah mengembangkan tekstil yang berasal dari miselium, struktur akar jamur, dan diproses menjadi lembaran mirip kulit. Mylo bersertifikat 50-85% berbasis bio, meskipun masih menggunakan bahan kimia dalam proses penyamakan dan pencelupan.

Desserto (Meksiko): Perusahaan Adriano Di Marti membudidayakan kaktus nopal di negara bagian Zacatecas, dan merupakan sumber bahan mode baru yang diluncurkan pada tahun 2019. 

Vegea (Italia): Kulit, biji, dan batang anggur yang dibuang selama produksi anggur digunakan oleh perusahaan ini untuk membuat kulit nabati sejak 2016. Situs webnya menyatakan bahwa tidak ada pelarut beracun atau logam berat yang terlibat dalam prosesnya.

Malai (India): Perusahaan ini mengumpulkan air kelapa yang dibuang oleh pabrik pengolahan yang hanya menggunakan daging putih dari buah tropis. Cairan alami ini, yang pernah dibuang ke sistem pembuangan limbah lokal, menyebabkan pengasaman tanah yang merusak, sekarang disterilkan dan berfungsi sebagai makanan untuk kultur bakteri. Proses pertumbuhan ini menghasilkan lembaran jeli selulosa, yang kemudian diperkuat dengan serat alami dan bahan resin, sehingga menghasilkan produk yang mirip dengan kulit.

Benang dan mode cetakan

Alga-Life (Jerman): Didirikan pada tahun 2016, perusahaan ini membuat benang dan pewarna tekstil dengan memurnikan protein dari alga, yang kemudian dicampur dengan bahan-bahan alami seperti kulit buah delima dan jarum juniper. Sistem hanya membutuhkan sinar Matahari dan air untuk beroperasi, dan prosesnya tidak menghasilkan limbah.

MycoTEX (Belanda): NEFFA membuat pakaian khusus dengan menumbuhkan tekstil miselium yang dapat dikomposkan, yang setelah dipanen, dapat dibentuk dalam cetakan 3D menjadi pakaian jadi. Setelah kering, garmen siap dipakai. Proses ini menghilangkan beberapa langkah manufaktur tradisional seperti pemintalan benang dan penenunan kain, dan hanya menggunakan 0,5% dari air yang dikonsumsi dalam produksi kapas konvensional.

Wol bebas hewani

WOOCOA (Kolombia): Sekelompok mahasiswa dari University of Andes, di Bogotá, mengembangkan pengganti wol yang 100% dapat terurai secara alami. Mereka menggunakan serat kelapa dan rami, diolah dengan enzim yang diekstraksi dari jamur tiram, untuk membuat wol regeneratif bebas hewani berbasis bio.

Setelah melihat perbedaan antara fast fashion dan slow fashion beserta contoh-contohnya, menurut kalian mana nih yang lebih baik? (E03)