Titik Temu
Dukungan Global dan Pajak Karbon, Jalan Indonesia Menuju Nol-Bersih Emisi 
Editorial Cast | 04.08.2022

Indonesia melakukan beberapa kebijakan untuk menuju Net Zero Emission atau nol-bersih emisi. Dukungan global dan penerapan pajak karbon dibutuhkan Indonesia untuk mencapai tujuan ini. 

Disebutkan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, fokus Presidensi G20 Indonesia terletak pada tiga fokus utama yang meliputi kesehatan global yang inklusif, transformasi ekonomi berbasis digital, dan transisi menuju energi yang berkelanjutan. 

Transisi energi G20, lanjutnya, bertujuan untuk memperkuat sistem energi global yang lebih bersih dan transisi yang berkeadilan dalam pemulihan yang berkelanjutan yang kemudian akan diwujudkan melalui aksesibilitas teknologi energi bersih dan pendanaan.

“Hal ini sejalan dengan kebijakan energi nasional di Indonesia dalam melaksanakan transisi energi dan energi fosil menuju energi yang lebih bersih dan minim emisi sesuai dengan Net Zero Emission Indonesia pada Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% atau 441% dengan bantuan internasional pada tahun 2030,” ujarnya dalam webinar Indonesia Data and Economic (IDE) Conference Katadata 2022 yang bertajuk Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery

Pemerintah melakukan beberapa kebijakan untuk menuju nol-bersih emisi. Pertama, mengembangkan energi terbarukan secara masif dengan sumber tersebar, bervariasi, dan dalam jumlah besar. Dalam catatan Kementerian Energi, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.700 Gigawatt. 

Kebijakan kedua berupa pengurangan penggunaan energi fosil secara bertahap. Ketiga, mendorong penggunaan elektrifikasi baik untuk kendaraan bermotor maupun peralatan rumah tangga, serta penerapan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Pemerintah telah menyampaikan komitmen pada 2060 nanti seluruh kebutuhan listrik akan dipenuhi dari energi terbarukan.

“Pada roadmap zero emission, pemerintah sudah merencanakan pengurangan PLTU. Kebijakan ini dimulai dengan tidak ada lagi penambahan PLTU baru. Pengoperasian PLTU akan berakhir pada tahun 2056, kalau ini dilakukan secara normal berdasarkan kontrak,” kata Dadan. 

Berdasarkan perhitungan Kementerian Energi, ketika seluruh operasi pembangkit PLTU berakhir pada 2056, kebutuhan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) pada 2060 adalah sebesar 587 Gigawatt. 

“Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi sangat besar, sekitar USD 1.042 miliar hingga 2060. Sehingga dibutuhkan peran global untuk mendukung penurunan emisi di Indonesia,” sebutnya.  

Pajak karbon 

Dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah juga menerbitkan Undang-undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU ini akan menerapkan pajak karbon pada PLTU Batubara mulai 1 Juli 2022 dengan mekanisme cap tax

“Pajak karbon akan dikenakan kepada PLTU yang melampaui ambang batas emisi yang ditetapkan,” kata Dadan. 

Menurutnya, jika pajak karbon sudah diterapkan, maka penerimaan dari pajak tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberi dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial. 

“Kebijakan pajak karbon ini merupakan paket kebijakan komprehensif untuk pengurangan emisi dan sebagai stimulus untuk transisi menuju ekonomi hijau atau yang berkelanjutan,” jelasnya.

Senior Associate Lead Energy Taxation International Institute for Sustainable Development (IISD), Tara Laan, di acara yang sama mengatakan, penerapan pajak karbon akan memberikan sinyal kepada para investor terkait komitmen kebijakan iklim pemerintah. Penerapan pajak karbon juga akan mendorong perusahaan untuk beralih ke teknologi energi yang lebih bersih.

Bagi perusahaan pembiayaan, pengenaan pajak karbon terhadap penggunaan energi fosil akan menjadikan pemberian kredit di sektor ini menjadi lebih berisiko dan kurang menguntungkan di masa depan. 

“Sebagai sumber pendapatan baru bagi pemerintah, pajak karbon sendiri bisa dipakai untuk membiayai berbagai kebijakan transisi energi. Salah satunya untuk membuat harga energi tetap terjangkau,” kata Tara.

Ada berbagai skema penyaluran “subsidi” untuk membuat harga energi tetap terjangkau, terutama bagi kelompok ekonomi rentan atau miskin, misalnya melalui bantuan tunai atau pengurangan pajak penghasilan. Pendapatan dari pajak karbon juga bisa dimanfaatkan untuk investasi infrastruktur energi bersih. 

Wawasan lainnya diperkenalkan Deputy Head Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action of Germany, Malin Ahlberg, yang menjelaskan bagaimana program pajak karbon di Jerman dijalankan. 

“Jerman dan Uni Eropa tidak memiliki pajak karbon yang spesifik. Jerman menerapkan skema pajak karbon untuk emisi sektor transportasi dan pemanas pada bangunan atau rumah tangga yang efektif berlaku pada 2021,” ujarnya. Kedua skema itu meliputi lebih dari 80% emisi gas rumah kaca di Jerman. Kebijakan pajak karbon antar negara diakuinya memang tak sama. 

Sementara, ekonom senior di National Treasury of South Africa Memory Machingambi, mengatakan tak ada kebijakan yang bisa berlaku sama di semua tempat. “Meski demikian, pajak karbon tetap merupakan mekanisme dan kebijakan yang efektif untuk mengubah ‘perilaku’ bisnis maupun konsumen dalam penggunaan energi,” simpulnya. (E03)