Saat gempa Bumi besar terjadi, goncangan dan getaran mengirimkan gelombang seismik melalui tanah yang tampak sebagai goncangan besar pada seismometer. Namun, metode deteksi berbasis gelombang seismik saat ini masih sering menghadapi kendala karena sukar memastikan besar kekuatan gempa sesaat setelah gempa terjadi. Misalnya, untuk membedakan gempa berkekuatan magnitudo 7,5 dan gempa berkekuatan magnitudo 9, dalam beberapa detik setelah terjadi.
Hal itu terjadi karena perkiraan awal kekuatan gempa didasarkan pada ketinggian gelombang seismik yang disebut gelombang P, atau gelombang yang pertama kali tiba di stasiun pemantau. Sementara, gelombang seismik bukanlah tanda awal gempa. Semua massa yang bergerak di sekitar gempa besar akan mengubah kerapatan batuan di lokasi yang berbeda. Pergeseran yang terjadi di medan gravitasi Bumi menghasilkan gelombang lain, yakni gelombang “elastogravitasi” yang merambat melalui tanah dengan kecepatan cahaya, yang kecepatannya lebih besar ketimbang gelombang seismik.
Pada 2017, seismolog Martin Vallée dari Institut de Physique du Globe de Paris beserta rekan-rekannya melaporkan melihat sinyal elastogravitasi dalam data stasiun seismik. Menurutnya, seperti dikutip dari Science News, temuan itu membuktikan bahwa ada “jendela” di antara awal gempa dan ketika stasiun pertama kali menerima gelombang seismik.
Para peneliti masih memikirkan bagaimana mengubah sinyal elastogravitasi menjadi sistem peringatan dini yang efektif. Karena goyangan gravitasi sangat kecil, sinyal tersebut sulit dibedakan dari kebisingan latar belakang dalam data seismik.
Ketika para ilmuwan melihat secara retroaktif, mereka menemukan bahwa hanya enam mega-gempa Bumi dalam 30 tahun terakhir yang menghasilkan sinyal elastogravitasi yang dapat diidentifikasi. Salah satunya, gempa Tohoku-Oki berkekuatan magnitudo 9 pada 2011 yang menghasilkan tsunami dahsyat yang membanjiri dua pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, Jepang.
Nah, di situlah komputer bisa digunakan untuk mendeteksi sinyal elastogravitasi. Para peneliti “melatih” komputer untuk mengidentifikasi sinyal gravitasi kecil ini, menunjukkan bagaimana sinyal dapat digunakan untuk menandai lokasi dan ukuran gempa kuat hampir secara instan.
Ini adalah langkah pertama untuk menciptakan sistem peringatan dini untuk gempa paling kuat di planet ini. Demikian para ilmuwan melaporkan temuan mereka di jurnal Nature, Mei lalu.
Menurut Andrea Licciardi, salah seorang ahli geofisika di Université Côte d’Azur di Nice, Prancis yang menulis jurnal tersebut, sistem itu dapat membantu memecahkan masalah pelik dalam seismologi, dan menjadi cara cepat untuk menentukan magnitudo sebenarnya dari gempa besar segera setelah gempa terjadi. Dengan kemampuan itu, peringatan bahaya bisa dikeluarkan secara lebih cepat dan efektif, dan dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Licciardi dan rekan-rekannya menciptakan PEGSNet, jaringan pembelajaran mesin (machine learning) yang dirancang untuk mengidentifikasi “sinyal ElastoGravity yang cepat”. Para peneliti melatih mesin pada kombinasi data seismik nyata yang dikumpulkan di Jepang dan 500 ribu sinyal gravitasi simulasi untuk gempa Bumi di wilayah yang sama.
“Data gravitasi sintetis sangat penting untuk pelatihan, karena data sebenarnya sangat langka, dan model pembelajaran mesin memerlukan masukan yang cukup untuk dapat menemukan pola dalam data,” kata Licciardi.
Setelah dilatih, komputer kemudian diberi tes untuk melacak asal dan evolusi gempa Tohoku 2011 seolah-olah gempa itu terjadi secara real-time. Hasilnya menjanjikan karena algoritma mampu secara akurat mengidentifikasi besaran dan lokasi gempa lima hingga 10 detik lebih awal daripada metode lain.
“Studi ini adalah bukti konsep dan mudah-mudahan menjadi dasar untuk prototipe sistem peringatan dini. Saat ini, itu disesuaikan untuk bekerja di Jepang. Kami ingin membangun sesuatu yang dapat bekerja di daerah lain yang dikenal dengan gempa kuat, termasuk Chile dan Alaska. Pada akhirnya, harapannya adalah membangun satu sistem yang dapat bekerja secara global,” jelas Licciardi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PEGSNet berpotensi menjadi alat yang ampuh untuk peringatan dini gempa, terutama bila digunakan bersama alat pendeteksi gempa lainnya.
Namun, akan ada lebih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan. Pasalnya, algoritma dilatih untuk mencari satu titik asal gempa–ini merupakan pendekatan yang masuk akal jika kita berada jauh dari tempat asal gempa. Tapi dari dekat, asal gempa tidak lagi terlihat seperti titik, melainkan wilayah yang lebih besar yang telah pecah.
“Jika para ilmuwan menginginkan perkiraan yang akurat tentang di mana retakan terjadi di masa depan, mesin perlu mencari daerah, bukan titik,” kata Vallée.
Kemajuan yang lebih besar bisa hadir di masa depan karena para peneliti mengembangkan instrumen yang jauh lebih sensitif yang dapat mendeteksi gangguan yang disebabkan gempa yang lebih kecil ke medan gravitasi Bumi sambil menyaring sumber kebisingan latar belakang lain yang mungkin mengaburkan sinyal. Bumi, kata Vallée, adalah lingkungan yang sangat bising, mulai dari lautan hingga atmosfernya.
“Ini sedikit sama dengan tantangan yang dihadapi fisikawan ketika mereka mencoba mengamati gelombang gravitasi,” kata Vallée.
Riak-riak dalam ruang-waktu ini, yang dipicu oleh tumbukan kosmik kolosal, adalah jenis gelombang yang digerakkan oleh gravitasi yang sangat berbeda. Tapi sinyal gelombang gravitasi juga dikalahkan oleh kebisingan Bumi, dalam hal ini, mikrotremor di bawah tanah. (E03)