Titik Temu
Demi Masa Depan, Tanah Papua Butuh Kolaborasi
cast | 09.22.2021

Pemerintah Indonesia tengah mendorong upaya percepatan pembangunan kesejahteraan di wilayah Papua. Upaya tersebut dituangkan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. 

“Sebagian besar Kawasan Papua itu masih hutan dengan ruang gerak yang masih sedikit. Kalau di Papua Barat itu 90% hutan, 10% Area Penggunaan Lain (APL). Sedangkan Papua 94% dan sisanya APL,” kata Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang, Surya Tjandra, dalam acara Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) Forum 2021. 

Pemerintah berharap ruang gerak di Papua dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat di sana. Salah satu tugas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) adalah mengupayakan percepatan reforma agraria yang mempertimbangkan kontekstual Papua. 

Surya menjelaskan, pertimbangan kontekstual yang dimaksud utamanya adalah mengenali wilayah sekitar dengan melakukan pemetaan sosial dan spasial, khususnya untuk wilayah adat. Hal itu amat penting agar selanjutnya pemerintah bisa melakukan perencanaan, pembagian tata ruang, pengembangan, hingga menentukan waktu pelaksanaannya. 

Selain itu, Surya menambahkan, tugas lain dari Kementerian ATR/BPN adalah mendorong kepastian hukum hak atas tanah, memfasilitasi penanganan hukum terkait pemanfaatan tanah ulayat, serta memberikan dukungan pelaksanaan proyek percepatan pembangunan, khususnya di wilayah Lapago, Jayapura, dan Merauke. 

Reforma agraria dan tantangannya

Secara singkat, reforma agraria adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Program ini merupakan program lintas-sektor yang pelaksanaannya melibatkan beberapa kementerian/lembaga, termasuk Kementerian ATR/BPN. 

Diakui oleh Surya, terkait upaya reforma agraria di Tanah Papua, salah satu tantangan yang dihadapi adalah sumber daya manusia. Sebab, jumlah orang yang terjun langsung mengurus upaya ini masih terbatas, sedangkan targetnya masih tinggi. 

“Untuk turun ke bawah itu perlu kolaborasi. Itu yang sedang kami coba gali. Kerja sama dengan Pemda Jayapura, kami bikin MoU (memorandum of understanding) antara Kanwil ATR/BPN Papua dengan Bupati Jayapura untuk menghubungkan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA),” ungkapnya yang juga bertugas sebagai Kepala GTRA. 

Selain GTRA yang sifatnya di pusat, ada pula Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA). Kedua gugus tugas ini berkolaborasi dalam melakukan survei partisipasi yang melibatkan masyarakat, dibantu oleh masyarakat sipil dan kepala daerah.

Mustahil tanpa kolaborasi

Reforma agraria tidak sekadar mendorong sertifikasi atau pencatatan terkait tanah yang ada di wilayah Papua, tetapi juga memberikan pengakuan dan jaminan perlindungan negara untuk Tanah Papua. Negara juga menghormati jika ruang gerak yang tersedia akan digunakan untuk keperluan seperti pembangunan. 

Hal pertama yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN adalah pemetaan sosial dan spasial wilayah adat, karena itu akan menjadi pondasi pekerjaan-pekerjaan berikutnya, seperti perencanaan dan pembagian tata ruang. 

Proses pemetaan ini mustahil dikerjakan tanpa melibatkan berbagai pihak. Perlu ada kolaborasi antar kementerian/lembaga terkait di tingkat pusat, pemerintah daerah, juga organisasi masyarakat sipil untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.  

Untuk saat ini, Surya menuturkan, ia masih berupaya melakukan sintesis terkait upaya ini. “Mudah-mudahan ketika masa jabatan saya sudah habis, paling tidak sudah ada pondasi awal untuk model dan strategi kerja samanya, SDM-nya, best practice siap yang terlibat dan diikutkan, lalu kelembagaannya seperti apa. Jadi, diharapkan siapa pun pengganti Pak Menteri dan saya, tidak nol lagi,” tuturnya. (E04)