Titik Temu
Daging Buatan Lab, Potensi Sumber Pangan Masa Depan
Editorial Cast | 12.31.2021

Kegiatan peternakan di seluruh dunia diperkirakan menyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Data asesmen yang dilakukan Badan Pangan PBB atau FAO mencatat, total emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari kegiatan peternakan mencapai 14,5% dari seluruh emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. 

Selain karbon dioksida, peternakan juga menghasilkan dua gas rumah kaca lainnya dalam jumlah besar, yakni gas dinitrogen monoksida dan metana. Kedua gas ini memiliki efek gas rumah kaca yang lebih kuat dibanding karbon dioksida. Dinitrogen monoksida memiliki 298 kali pengaruh lebih kuat per satuan berat dibanding karbon dioksida dalam rentang waktu 100 tahun!

Dinitrogen monoksida bereaksi dengan oksigen membentuk nitrogen monoksida,  kemudian nitrogen monoksida memecah lapisan ozon. Sementara emisi gas metana mempunyai efek 25 kali lebih kuat dibanding emisi gas karbon dioksida dengan jumlah yang sama dalam rentang waktu 100 tahun.

Tingginya dampak dari gas metana dan dinitrogen monoksida ini, menyebabkan kalangan industri dan ilmuwan melakukan penelitian serta pengembangan untuk memenuhi permintaan daging yang kian tinggi dengan proses produksi yang lebih ramah lingkungan. 

Salah satu penelitian itu adalah pengembangan daging kultur buatan di laboratorium. Daging kultur buatan adalah daging yang ditumbuhkan dari sel hewan. Daging ini serupa dengan daging yang biasa kita dapati di pasar atau swalayan, tapi bukan berasal dari hewan yang dipotong.

Daging sintesis dari sel punca

Pada akhir 2019, ada sekitar 55 perusahaan di dunia yang mengembangkan daging kultur buatan atau disebut juga daging sintesis. Salah satunya adalah Super Meat yang berada di Israel. Mereka mengembangkan beragam produk daging ayam kultur buatan. Beberapa ahli berpendapat bahwa industri daging berbasis sel punca ini merupakan masa depan industri pangan yang lebih ramah lingkungan dan manusiawi.

Untuk membuat daging kultur buatan di laboratorium, ilmuwan menggunakan stem cell atau sel punca  dari  hewan, yakni jenis sel yang bertugas untuk menggantikan sel-sel penyusun tubuh yang rusak. Sel punca memiliki kemampuan istimewa, yaitu dapat memperbanyak diri sendiri dan belum berdiferensiasi atau belum terprogram menjadi sel atau jaringan yang diinginkan.

Sel punca diambil dari hewan dengan cara biopsi. Selanjutnya sel punca yang sudah diambil akan diisolasi dan ditransfer ke media yang mengandung nutrisi untuk dilipatgandakan.

Sel punca dari proses ekstraksi dipindahkan ke media biakan yang umumnya disebut sebagai media penyangga (scaffolds). Media penyangga ini harus terbuat dari material yang mudah terurai secara alami dan dapat dimakan. 

Peneliti dan industri masih mencari material penyangga terbaik untuk memproduksi daging burger, nugget, dan produk olahan daging lainnya. Beberapa menggunakan protein kedelai, gelatin, atau sumber lain untuk membentuk daging kultur buatan,  tergantung  jenis daging apa yang akan diproduksi.

Setelah itu, sel punca hewan pada media penyangga tersebut akan mengalami proses tumbuh dan melipatgandakan diri. Media penyangga yang sudah ditumbuhi sel punca ditempatkan dalam bioreaktor untuk mereplikasi. Bioreaktor adalah suatu sistem alat yang terdiri dari sebuah wadah berisi media cair yang mengandung nutrisi seperti protein, lemak, gula, mineral, dan vitamin dan dihubungkan dengan sumber udara. 

Proses replikasi yang terjadi dalam bioreaktor ini kemudian mengalami proses diferensiasi, yakni dari sel punca tumbuh menjadi ribuan serabut otot hingga terbentuk produk akhir berupa jaringan daging. Proses yang dibutuhkan untuk membuat daging bisa bervariasi, umumnya berkisar antara  2-8 minggu. 

Diklaim lebih bersih dan ramah lingkungan

Karena ditumbuhkan di dalam laboratorium, daging kultur buatan diklaim lebih bersih ketimbang daging dari hewan potong. Daging kultur buatan lebih sedikit terinfeksi bakteri E. coli yang biasa ditemukan pada kotoran hewan atau berasal dari kontaminasi mikroorganisme lain yang biasanya ditemukan pada proses pemotongan hewan. 

Selain itu, daging kultur buatan juga mengandung lebih sedikit antiobiotik. Hewan ternak biasanya diberikan obat antibiotik agar tetap sehat. Namun penggunaan obat ini menyebabkan resistensi antibiotik, yakni ketika obat tidak lagi dapat mencegah infeksi bakteri tertentu.  

Sementara dari sisi dampak terhadap lingkungan, proses produksi daging kultur buatan diyakini lebih ramah lingkungan dibanding peternakan daging potong. Produksi daging kultur buatan membutuhkan lebih sedikit penggunaan lahan dan air dibandingkan peternakan yang membutuhkan lahan besar sehingga harus membuka lahan hutan. 

Kemudian, produksi daging dari hewan ternak juga menghasilkan banyak gas metana, karbon dioksida, dan dinitrogen monoksida atau gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Sedangkan produksi daging kultur buatan di laboratorium dapat mengurangi emisi gas tersebut secara signifikan. Proses pembuatan daging kultur buatan juga lebih manusiawi karena tak perlu menjagal dan mengurung hewan ternak.

Masih dalam tahap dini 

Meski begitu, pengembangan daging kultur buatan ini masih sangat dini. Masih banyak isu dan kekhawatiran di masyarakat. Misalnya, terkait nutrisi. Belum diketahui apakah daging kultur buatan baik bagi kesehatan atau tidak. Meski ilmuwan dapat mengatur jumlah lemak dan kolesterol dalam daging buatan, tapi besar nutrisi daging kultur buatan sendiri belum dapat diketahui. 

Karena daging kultur buatan ditumbuhkan di laboratorium menggunakan sel hewan, bentuk bahan pangan ini masih diragukan oleh masyarakat vegetarian dan vegan. Selain itu, umat beragama Islam, Hindu, dan Yahudi masih belum menyepakati apakah daging buatan ini memenuhi standar hukum makanan dalam keyakinan mereka. 

Kemudian, biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan daging buatan ini juga belum efektif. Produksi daging kultur buatan pertama kali pada tahun 2012 memakan biaya 325.000 dolar Amerika Serikat atau setara Rp4,6 miliar! 

Para ilmuwan yakin jika teknologi makin berkembang dan daging kultur buatan dapat diproduksi secara massal, maka biaya pembuatan 150 gram burger daging kultur laboratorium adalah seharga 11 dolar Amerika Serikat atau sekira Rp160 ribu. Tentu saja harga ini masih mahal jika dibandingkan dengan harga daging potong lokal.  

Singapore Food Agency (SFA) merupakan yang pertama di dunia memberikan izin edar daging ayam kultur buatan Eat Just, sebuah perusahaan yang berpusat di San Fransisco, Amerika Serikat. Dukungan pemerintah Singapura ini membuka kemungkinan bahwa daging ayam buatan dapat diproduksi secara massal, khususnya di Singapura.

Meskipun daging kultur buatan merupakan harapan produksi pangan ramah lingkungan di masa depan, banyak orang mempertanyakan. Apakah rasanya akan seenak daging  dari hewan potong?

Sejumlah orang pernah mencicipi rasa daging burger kultur buatan ini. Kebanyakan masih menilai bahwa daging kultur buatan laboratorium tidak terdengar menggugah selera. Opini publik mungkin masih bisa berubah. Namun, sepertinya masih butuh banyak penelitian bertahun-tahun sebelum kita dapat menemukan daging kultur laboratorium di rak pasar swalayan atau di restoran. (E05)