Titik Temu
Daging Artifisial, Alternatif Makanan Masa Depan 
Editorial Cast | 04.12.2022

Lab grown meat, atau daging artifisial yang dibuat di laboratorium sedang berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Banyak ilmuwan dan peneliti berlomba menciptakan tiruan dari daging.

Hal ini dilakukan karena melihat tingginya permintaan daging di pasaran, sementara proses produksi daging di peternakan turut memicu peningkatan gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global. 

Para ahli berpikir, jika upaya pengembangan daging tiruan tidak dilakukan dari sekarang, kita berkontribusi pada kerusakan Bumi yang makin parah. Para pendukung daging artifisial menggembar-gemborkan keunggulan etika, lingkungan, dan keamanannya jika dibandingkan dengan produksi daging tradisional. 

Secara khusus, daging artifisial tidak memerlukan penyembelihan, proses produksinya menggunakan lebih sedikit sumber daya seperti air dan tanah, potensi polusi udara lebih sedikit, dan karena produk “ditanam” di laboratorium, lingkungannya terkontrol sehingga menghasilkan lebih sedikit potensi kontaminasi.

Sementara itu, orang-orang yang skeptis mengklaim bahwa zat tambahan yang diperlukan untuk membuat daging artifisial punya rasa yang enak, bisa mengurangi manfaat kesehatan. Selain itu, sumber daya yang dihemat sebenarnya tidak banyak. Sejumlah laporan, seperti dikutip dari Reuters, telah menunjukkan bahwa produksi skala besar daging artifisial di laboratorium dapat menghasilkan konsentrasi karbon dioksida yang lebih besar dari waktu ke waktu.

Tren “daging bersih” sampai ke Indonesia 

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa, saat ini rumah tangga di seluruh dunia mengonsumsi lebih sedikit daging. Dalam 60 tahun terakhir, terjadi tren penurunan yang stabil untuk konsumsi produk daging sapi. 

Industri pun memperhatikan dan mengikuti perkembangan ini. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, sejumlah restoran cepat saji dan supermarket menawarkan lebih banyak pilihan alternatif “daging bersih” yang berbahan dasar nabati. 

McDonald’s baru-baru ini memperkenalkan burger nabati McPlant, bahkan produsen daging terkemuka seperti Tyson Foods, memperkenalkan lini nabati mereka sendiri. Mereka terus mengeksplorasi inovasi yang dulunya berorientasi pada daging. 

Tak hanya di AS, sejumlah negara melakukan hal serupa. Alternatif daging yang dibuat pun tak sebatas daging sapi dan ayam, tetapi merambah ke seafood atau makanan laut. 

Di Tel Aviv, Israel, ada sebuah restoran bernama The Chicken yang menarik perhatian banyak orang untuk mengunjunginya. The Chicken adalah restoran pertama di dunia yang menyajikan daging budidaya. Menurut beberapa pengunjung yang telah berhasil mencobanya, tidak ada perbedaan rasa antara daging ayam asli dan buatan. 

Tak hanya itu, Israel juga punya Future Meat Technologies yang menjadi fasilitas produksi industri pertama di dunia untuk daging budidaya. Pabrik ini memiliki kapasitas memproduksi 500 kg daging sintetis ayam, babi, dan domba setiap hari, yang setara dengan sekitar 5.000 burger. Dalam perkembangannya nanti, mereka juga akan memproduksi daging sapi.

Di Indonesia, kita juga punya produsen daging buatan. Meski skalanya belum masif, kontribusinya dalam tren daging artifisial di Indonesia tak bisa diremehkan, yaitu Green Butcher

Berlokasi di Jakarta, perusahaan ini mengklaim sebagai produsen daging nabati pertama di Asia Tenggara, yang mengembangkan alternatif daging ayam dan sapi dengan menggunakan bahan-bahan alami yang utuh.  

Produk-produknya antara lain sate ayam, karaage ayam, potongan daging tanpa daging, rendang tanpa daging, dan bola shroom, yang semuanya dijual dalam keadaan siap masak. Fokusnya adalah menciptakan produk nabati yang secara khusus dikembangkan agar cocok dengan makanan dan cita rasa Asia yang nyaman.

Beberapa perusahaan yang bergerak di industri ini mengklaim tahun 2022 akan menjadi tahunnya daging buatan tersedia untuk konsumsi publik. Singapore Food Agency menjadi badan pengatur pertama yang menyetujui penjualan daging buatan. 

Pada 22 April 2021, Eat Just bekerja sama dengan layanan pesan-antar makanan terkemuka di Asia meluncurkan produk daging artifisial diantar ke rumah pertama di dunia. Dengan hampir tidak ada lahan pertanian atau hewan, Singapura secara alami cocok untuk teknologi ini dan penggunaannya dapat membuat pulau itu menjadi produsen daging yang diakui.

Masa depan daging buatan  

Sebuah laporan telah memproyeksikan bahwa pasar daging budidaya global dapat mencapai USD 140 miliar dalam dekade berikutnya, atau sekitar 10% dari industri daging global. 

Meskipun hanya ada segelintir perusahaan rintisan daging artifisial pada tahun 2016, saat ini setidaknya ada 70 perusahaan rintisan di seluruh dunia yang bergerak di bidang ini. Selain itu, ada sekitar 40 perusahaan ilmu hayati yang menjual lini sel dan perangkat keras yang dibutuhkan produsen untuk memproduksi daging yang ditanam di laboratorium.

Ketika perusahaan-perusahaan ini menjadi lebih dikenal, perbedaan dalam teknologi pembuatan daging budidaya pun mulai terlihat. Sebagian besar masih mengejar konsep mengambil sel dari hewan hidup dan membudidayakannya dalam media pertumbuhan sampai mereka mereplikasi diri menjadi sampel spesies yang lebih besar.

Sementara itu, sejumlah produsen lainnya menggunakan sel otot-daging dari hewan asli, sedangkan beberapa produsen fokus pada sel induk yang dapat dimanipulasi untuk membentuk otot atau potongan daging tertentu. Ada juga yang mencangkok sel ke “perancah” sehingga mereka dapat dimanipulasi menjadi bentuk yang diinginkan menggunakan pencetakan 3D. 

Ke depan, harga daging artifisial pun akan bisa lebih murah sehingga produknya bersaing (meskipun tidak setara) dengan produk hewani. Contohnya, pionir daging buatan Mosa Meat di Belanda, kabarnya menghabiskan 280 ribu dollar AS untuk membuat burger daging sapi budidaya pertama pada tahun 2013. 

Kini, Future Meat Technologies di Israel mengklaim telah mengurangi biaya produksi hingga 4 ons. Harga dada ayam budidaya menjadi 7,50 dollar AS dan harga daging sapi dengan harga kurang dari 16 dollar AS per pon.

Dalam beberapa tahun belakangan, teknologi pangan untuk membuat daging sintetis berbahan nabati pun sudah makin canggih dan akan terus berkembang ke depannya. Hal ini memungkinkan penampilan dan rasa daging sintetis mendekati daging asli bahkan sama sekali tidak bisa dibedakan. Tertarik mencicipi daging artifisial? (E03)