Pernahkah kalian memperhatikan bentuk sumpit yang beragam dan dibuat dari bahan yang berbeda-beda? Ada sumpit kayu, ada sumpit bambu, ada juga yang dari bahan metal. Lalu bentuknya ada yang punya ujung runcing, ada juga yang tumpul. Nah, ada cerita menarik di balik ini.
Desainer produk Prananda L. Malasan dari Design Ethnography Lab-FSRD ITB, dalam webinar Altermatter yang digelar British Council dan CAST Foundation, bercerita tentang sumpit sebagai salah satu contoh bahwa budaya dan perilaku sosial mempengaruhi desain sebuah produk.
Berdasarkan pengalamannya selama belajar di Jepang dan berkunjung ke sejumlah negara Asia Timur lainnya yaitu China dan Korea, Nanda menemukan fakta menarik tentang sumpit.
“Ternyata sumpit tidak sesimpel sumpit, karena ternyata berbeda-beda berdasarkan budayanya. Di Jepang, Korea, China, meski sama-sama di Asia Timur, ada perbedaannya,” kata Nanda.
Dari segi fungsi, semua sumpit tersebut sama, yaitu untuk menjepit makanan lalu dimasukkan ke mulut. Namun, dari segi bentuk dan materialnya, sumpit tersebut berbeda-beda seperti sudah disebutkan di awal.
“Ada yang dari kayu, ada yang dari metal, bahkan silver. Lalu yang satu ada yang lebih panjang. Menjadi pertanyaan: kenapa ya, negaranya berdekatan tapi hasil produknya berbeda meskipun fungsinya sama,” jelas Nanda.
Sejarawan Edward Wang, dalam bukunya “Chopstick: A Cultural and Culinary History” secara khusus membahas hal ini. Seperti dijelaskan Nanda, terungkap banyak hal menarik di balik sebuah sumpit, benda yang kelihatannya hanya berfungsi memasukkan makanan ke mulut.
Kita mulai dari sumpit China. Sumpit di negara ini terbuat dari bambu, lebih panjang, memiliki ujung yang tumpul. Desain ini tidak terlepas dari budaya, kondisi, dan sejarahnya.
“Kita tahu Chinese food itu biasanya shared food, dalam porsi besar, ditempatkan di tengah lalu kita ambil ke piring masing-masing. Itu membuat jarak mengambil makanan ke piring cukup jauh sehingga diperlukan sumpit panjang. Kenapa ujungnya tumpul? Karena makanan China lebih ke daging, ayam, sayuran, jarang ikan,” ulas Nanda.
Selanjutnya sumpit di Jepang. Tidak seperti di China, masyarakat Jepang kurang mengadopsi budaya menaruh makanan porsi besar di tengah meja, melainkan hidangan dalam wadah seperti bento untuk satu orang sudah lengkap nasi, sayur, dan lauk.
“Jarak ke makanan dekat sehingga sumpit tidak terlalu panjang. Orang Jepang tidak shared food dan mereka lebih sering makan ikan. Itu kenapa ujungnya lebih tajam karena untuk memisahkan tulang halus dengan dagingnya,” urainya.
Terakhir, sumpit Korea. Negara ini cenderung punya budaya barbeque, memanggang daging di atas api. Tentu sumpit yang digunakan harus awet dan tahan panas sehingga mereka menggunakan sumpit yang terbuat dari metal.
Ada sejarah menarik terkait pemilihan material metal untuk sumpit Korea. Dulu, Korea masih terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang berperang satu sama lain. Selain berperang secara terbuka, mereka juga saling meracuni lewat makanan.
“Jadi mereka menggunakan sumpit berbahan silver, karena silver itu mendeteksi arsenik (racun makanan),” kata Nanda.
Lalu mengapa hampir semua rakyat Korea juga menggunakan sumpit yang mirip? Dikatakan Nanda, hal ini datang dari perilaku sosial rakyat pada masa itu yang ingin meniru keluarga kerajaan.
“Sumpit mereka bukan dari silver tapi mereka pakai alternatif bahan di bawahnya yaitu metal. Jadi gaya hidupnya disesuaikan. Kondisi-kondisi seperti ini ternyata mempengaruhi bentuk, bahan, dan desain sumpit,” sebutnya.
Cerita di balik sumpit hanya salah satu dari begitu banyak contoh bagaimana desain dan fungsi sebuah benda terkait erat dengan aspek sosial budaya setempat.
“Itu kira-kira gambaran mengapa aspek budaya adalah hal yang penting ketika kita mendesain atau membuat rancangan atau ide,” ujar Nanda.
Ketika kita berbicara tentang budaya, kata Nanda, kita biasanya terpaku pada hal-hal yang terlihat wujudnya, seperti monumen, jenis tarian, dan lain sebagainya.
“Padahal sejatinya, budaya adalah aktivitas keseharian seperti naik angkot, jajan di pinggir jalan dan lain-lain, itu juga adalah kebudayaan yang justru memperkaya identitas kita. Dalam melihat sebuah budaya, kita harus bisa melihat dua aspek, tangible dan intangible (berwujud dan tak berwujud,” jelasnya.
Menurutnya, dari contoh-contoh tersebut juga kita bisa melihat bahwa pengguna sebuah produk memiliki kapasitas untuk merekonstruksi dan membentuk ulang desain sebuah benda berdasarkan kebutuhan dan pemikiran mereka.
“Seorang desainer memang harus mempelajari dan mengadopsi nilai pluralitas sebuah proses desain. Karena sebuah desain itu bukan sekadar produk jadi, tapi kita mulai dari menginisiasi ide, berinteraksi dengan orang-orang, memproses, sampai akhirnya kita launch produk, dan akhirnya bagaimana produk itu diinterpretasi ulang oleh pemakai. Itu adalah proses pluralitas dalam desain,” simpulnya. (E03)
Artikel ini merupakan bagian dari Seri Altermatter. Ketahui lebih lanjut tentang Project Altermatter.