Pakaian tak sekadar menutupi tubuh dan menunjang penampilan. Apa yang kita kenakan, bisa juga mencerminkan kepribadian. Pendapat umum ini makin dalam maknanya ketika kita bertemu dengan Denica Riadini-Flesch, seorang social entrepreneur dan pendiri dari SukkhaCitta.
Di tengah maraknya orang lebih menggemari fast fashion, Denica justru menerapkan konsep sebaliknya, slow fashion. Fast fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil yang memiliki berbagai model fesyen yang silih berganti dalam waktu yang sangat singkat, serta menggunakan bahan baku yang berkualitas buruk, tidak tahan lama, tidak ramah lingkungan, dan tidak ramah terhadap kesejahteraan pekerjanya.
Sedangkan slow fashion yang diusung Denica lewat SukkhaCitta yang didirikannya, menerapkan praktik fesyen berdasarkan penggunaan pakaian dalam jangka panjang, penggunaan material berkualitas dan berdaya tahan tinggi, serta proses produksi yang ramah lingkungan.
SukkhaCitta, yang diambil dari kata “suka cita” dalam bahasa Indonesia yang berarti kebahagiaan, didirikan oleh Denica di Indonesia pada tahun 2016 sebagai salah satu upayanya dalam memperbaiki sistem fesyen yang sudah terlalu tercemar.
Berbicara di webinar Altermatter, kolaborasi CAST Foundation bersama dengan British Council Indonesia, Playo dan Applied Arts Scotland, Denica memaparkan bagaimana potensi pakaian bisa mengubah hidup seseorang dan berdampak besar terhadap lingkungan.
“Saya menyadari bahwa di balik pilihan sederhana seperti apa yang akan kita pakai setiap harinya, terdapat para perempuan yang tak akan pernah kita temui, tangan-tangan yang tak akan pernah kita lihat, dan perjuangan yang tak akan pernah kita tahu,” kata Denica.
Ia memiliki ketertarikan terhadap isu kemiskinan dan pengembangan lingkungan sosial yang terjadi di negaranya sendiri, Indonesia. Denica yang pernah bekerja di World Bank, kerap melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Indonesia.
Ketika melihat kondisi ekonomi keluarga Indonesia di daerah pelosok pedesaan, Denica mengaku terpukul, terutama mengetahui para ibu yang bekerja membatik dan membuat pakaian, diupah sangat rendah.
Melalui penelitian mandirinya, Denica menemukan adanya peluang dalam mengembangkan sektor kerajinan tangan sebagai upaya pemberantasan kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, sektor ini merupakan sektor penyerap tenaga kerja tertinggi kedua di Indonesia, terutama terhadap para perempuan di daerah pedesaan.
Sayangnya, terdapat “cacat” dari sistem yang berlaku. Meski membutuhkan keahlian yang tidak bisa dianggap enteng dan memakan banyak waktu, para artisan di desa ini umumnya dibayar sangat murah. Alhasil, regenerasi para seniman ini pun makin sulit untuk dilakukan karena minimnya insentif yang tersedia.
Dalam mengembangkan usahanya, Denica mengusung tagar #MadeRight yang berarti “dibuat dengan semestinya”. Hal ini merujuk pada penetapan standar oleh SukkhaCitta terkait permasalahan yang terjadi dalam industri kerajinan Indonesia.
Terlepas dari itu, Denica menerangkan bahwa #MadeRight sebenarnya adalah sebuah gerakan yang sedang ia suarakan untuk mengajak para pelaku industri fesyen untuk menuntut praktik industri yang lebih beretika, nomor satu adalah pemberian upah yang layak.
Poin ini diwujudkan dengan penyesuaian upah artisan dengan kebutuhan hidupnya. Sebelum menentukan seberapa besar upah yang akan diberi, Denica akan melakukan perhitungan atas biaya hidup mereka dengan mengasumsikan seorang artisan memiliki sebuah keluarga dengan dua anak.
Denica dan timnya juga akan memperhitungkan faktor kebutuhan lain di luar kecukupan harian, seperti kesehatan dan pendidikan yang layak. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghentikan praktik eksploitasi terhadap pengrajin perempuan berkeluarga.
Disebutkan Denica, tidak hanya pemilihan material yang penting, siklus dari proses penumbuhan dan pembuatan material juga harus mempunyai sifat regeneratif dan berkelanjutan.
“Yang kami lakukan di SukkhaCitta adalah bersama-sama dengan petani menumbuhkan tanaman untuk pewarna dan bahan pakaian yang akan dibuat,” ujarnya.
Melalui situs resminya, SukkhaCitta menjelaskan upaya apa saja yang mereka lakukan untuk memberi dampak baik terhadap lingkungan. Pertama-tama, produk yang dihasilkan menggunakan material ramah lingkungan, mulai dari raw cotton dari Desa Medono, Jawa Tengah, polyester daur ulang, hingga material Tencel dan Sylk yang terbuat dari serat tumbuhan kayu putih yang diproses melalui closed-loop facility hasil produksi Lenzing AG.
Pewarna yang mereka gunakan juga berasal dari alam dan dapat dilacak asal muasalnya sejauh proses penanaman tanaman tersebut. Tanaman yang digunakan bisa berasal dari koperasi tani yang ia kembangkan, SweetIndigo, atau diambil dari limbah makanan dan industrial yang terdapat di wilayah tersebut.
“Itu sebabnya setiap koleksi di SukkhaCitta hanya dari satu desa, dan itu pun warnanya berbeda-beda karena kondisi airnya beda, kondisi cuacanya beda, jenis tanamannya beda,” terang Denica.
Pemilihan material yang ramah lingkungan juga merupakan bagian dari upaya menjaga kesejahteraan para artisan, agar mereka tetap sehat dan tidak terpapar zat kimia berbahaya dari pewarna buatan.
“Misalnya setiap mereka menggunakan pewarna, tangannya selalu perih dan paru-parunya yang menghirup uapnya juga perih. Life expectancy di desa bisa menurun karena hal ini,” sebut Denica.
Menurutnya, tak kalah penting bahwa industri ini harus mampu bertanggung jawab kepada pembuatnya dengan menelusuri prosesnya secara sehat, sehingga hidup dan kesejahteraan para perempuan di balik kain bisa terus dijaga.
Terakhir, Denica juga ingin melestarikan budaya Indonesia melalui SukkhaCitta. Sebagai contoh, masyarakat mengetahui batik sebagai sebuah proses penghasilan motif melalui menitik dan melukis dengan canting atau cap dan lilin malam.
Kenyataannya, saat ini batik dengan proses pencetakan pun kian bermunculan dan menggeser esensi tradisi dari batik itu sendiri. Maka dari itu, Denica pun mendirikan sebuah program pemberdayaan artisan bernama “Jawara Desa“.
Pembinaan yang diberi oleh program ini berupa pelatihan dan bantuan kredit usaha mikro. Setelah menyelesaikan program ini, para artisan terpilih diharapkan dapat menyalurkan pengetahuan mereka ke artisan lain di wilayah tersebut.
Denica juga menyadari bahwa setiap wilayah memiliki spesialisasi kerajinan yang berbeda-beda. Dari sini ia menciptakan konsep “one village, one collection” di mana setiap desa memproduksi sebuah produk dengan tema yang unik dan menggambarkan kisah mereka serta wilayahnya.
“Membahas keberlanjutan saja tidak cukup, yang kita butuhkan sekarang adalah menelusuri prosesnya. Karenanya semua hal yang kami ciptakan di SukkhaCitta bisa ditelusuri kembali ke setiap tangan perempuan yang membuatnya, karena kami ingin memastikan bahwa pilihan kita benar-benar berkontribusi membuat dunia yang lebih baik,” tutupnya. (E03/Foto: www.sukkhacitta.com)
Artikel ini merupakan bagian dari Seri Altermatter. Ketahui lebih lanjut tentang Project Altermatter.
#MadeRight, altermatter, Applied Arts Scotland, arts, Batik, British Council Indonesia, budaya Indonesia, CAST Foundation, Denica Riadini-Flesch, Desa Medono, fast fashion, Jawa Tengah, Jawara Desa, Lenzing AG, Playo, slow fashion, SukkhaCitta, sustainability, sustainable batik production, sustainable fashion, SweetIndigo, warisan budaya Indonesia,