Upaya untuk mengurangi emisi karbon, perubahan iklim, dan efek rumah kaca terus digalakkan oleh sejumlah negara. Salah satu bentuk keseriusan itu adalah dibentuknya Perjanjian Paris sebagai bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 2015.
Lewat persetujuan ini, negara-negara yang berpartisipasi sepakat untuk berusaha menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat. Selain itu, negara-negara itu pun berupaya membuat suplai finansial yang konsisten untuk tercapainya pembangunan yang rendah emisi gas dan tahan terhadap perubahan iklim.
Meski begitu, upaya untuk mengurangi emisi karbon tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak, misalnya oleh pemerintah saja. Butuh kolaborasi berbagai pihak untuk meraih misi tersebut. Sejumlah sektor swasta pun sudah mulai menyadari hal tersebut.
Meski sama-sama masih jauh panggang dari api, langkah-langkah yang dilakukan sektor swasta sebenarnya juga cukup berarti, terutama mereka yang produk dan layanannya terhubung langsung dengan masyarakat, seperti perusahaan yang menghasilkan produk kebutuhan hidup sehari-hari.
Sayangnya, dalam komitmen pengurangan emisi karbon saat ini, peran masyarakat masih belum dilirik. Pembahasan tentang pemangkasan karbon masih lebih banyak di tataran eksekutif, seperti soal komitmen dan kebijakan. Karena itu, penting bagi perusahaan atau brand yang dekat dengan masyarakat untuk mulai memperkenalkan konsep keberlanjutan kepada konsumen mereka.
Dengan kondisi ini, brand dan pelaku bisnis secara tidak langsung bisa ikut masuk memperkenalkan konsep gaya hidup yang ramah lingkungan dan mempromosikan produk yang berkelanjutan pada konsumen mereka. Hal ini tentu akan menguntungkan, terlebih bagi brand yang memiliki konsumen setia sekaligus masif. Langkah ini bisa mendorong adopsi gaya hidup ramah lingkungan yang lebih besar.
Berdasarkan poling yang dilakukan Ipsos pada Juli 2021, 70% populasi global saat ini sudah sadar akan kondisi lingkungan yang memburuk dibandingkan tahun sebelumnya. Lalu, 72% dari mereka setuju jika tidak ada tindakan nyata sekarang, maka kondisi ini akan berpengaruh buruk pada generasi selanjutnya.
Adanya perubahan pola pikir semacam ini sebenarnya mendukung brand untuk mulai memperkenalkan produk ramah lingkungan sebagai pilihan bagi konsumen yang sudah menyadari pentingnya gaya hidup berkelanjutan. Sebab, kesadaran tanpa aksi nyata tidak akan berarti.
Meski belum semua brand, sejumlah brand sudah menaruh perhatian pada gaya hidup berkelanjutan. Hal itu mereka tunjukkan dengan beragam cara. Mulai dari proses produksi yang lebih ramah lingkungan, edukasi terhadap konsumen, hingga bekerja sama dengan pihak lain untuk membuat lingkungan yang lebih baik.
Salah satunya dilakukan Danone Aqua dalam proses produksinya. Perusahaan ini sudah memiliki program untuk mendorong proses produksi ke model ekonomi sirkular yang dilakukan dalam bentuk pengelolaan sampah kemasan plastik. Aqua berambisi untuk mengambil kembali lebih banyak sampah kemasan plastik dari yang dihasilkan di tahun 2030 di Indonesia.
Selain itu, sebagian besar volume produksi air mineral Aqua adalah kemasan galon yang dijalankan dengan model pemakaian berulang (reuse) dan sebagian dari kemasan tersebut telah menggunakan bahan baku daur ulang. Aqua juga meminimalkan penggunaan bahan baku dan timbulan sampah dengan mengurangi berat kemasan hingga kurang dari 20% berat total.
Senada dengan Aqua, Unilever pun memiliki program serupa. Ada tiga fokus utama yang diterapkan perusahaan untuk mengurangi jejak emisi, seperti reduce, reuse, dan recycle. Karenanya, Unilever pada 2030 juga berkomitmen mengurangi separuh dampak lingkungan dari pembuatan dan pemakain produknya.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, sejak 2018, Unilever telah menerapkan 100% zero waste to landfill di kantor pusat, lalu menurunkan intensitas energi sebanyak 42% dibandingkan tahun 2008. Tidak hanya itu, mereka pun membina 2.816 bank sampah yang tersebar di Indonesia dan telah berkontribusi dalam menurunkan sampah anorganik sebanyak 7.779 ton.
Selain kedua perusahaan itu, brand kecantikan The Body Shop juga sudah menerapkan strategi serupa untuk ikut melestarikan kekayaan hayati sekaligus mengurangi limbah. Hal itu ditunjukkan dengan sejumlah cara, seperti memastikan 70% total kemasan produk mereka tidak mengandung bahan bakar fosil, mengurangi konsumsi energi sebesar 10% untuk semua toko, hingga menggunakan sumber energi terbarukan di kantor mereka. (E04)