Permasalahan food waste alias sampah makanan masih sering diabaikan dan tidak menjadi perhatian banyak orang. Merujuk pada Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi pangan dan pertanian di bawah naungan PBB, food waste adalah makanan yang dibuang setelah sampai pada pengecer atau ritel, penyedia layanan makanan, hingga konsumen, baik individu maupun rumah tangga.
Bentuk food waste pun beragam. Misalnya, makanan yang masih segar, tapi tidak dianggap optimal atau sesuai standar; makanan yang dibuang baik sebelum atau setelah melewati tanggal kedaluwarsa, tapi masih bisa dikonsumsi; atau makanan yang dibiarkan hingga rusak.
Yang juga termasuk food waste adalah makanan dalam jumlah banyak dan masih layak dimakan, tapi sering tidak dihabiskan, termasuk makanan sisa yang setelah dimasak kemudian dibuang.
Data dari ReFED, sebuah organisasi nonprofit di Amerika Serikat (AS) yang berupaya mengakhiri food waste dan food lost (pemborosan pangan), menunjukkan bahwa sebagian besar makanan yang terbuang ternyata berasal dari produk segar dan mudah rusak.
Data ReFED yang menggambarkan pola konsumsi di AS juga menunjukkan 34% produk segar yang ada di rantai pasokan tidak pernah dikonsumsi. Produk olahan susu dan makanan siap saji termasuk dalam makanan yang sering terbuang percuma.
Adapun data dari FAO menunjukkan bahwa persoalan food waste ini tidak melulu soal konsumsi konsumen. Ada banyak penyebab permasalahan ini terjadi dan bisa ditemukan di setiap proses rantai nilai makanan—mulai dari pertanian hingga transportasi, juga toko-toko tempat konsumen membeli makanannya.
Melihat persoalan itu, sebuah startup bernama Wasteless pun berusaha mengatasinya dengan memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI atau kecerdasan buatan). Dengan AI, mereka membantu penjual menerapkan harga dinamis, alih-alih menawarkan harga tetap untuk produk makanan yang mudah rusak.
“Tidak masuk akal pergi ke supermarket dan membayar harga sama untuk produk yang kedaluwarsanya dua atau tujuh hari lagi,” tutur Co-Founder Wasteless, Oded Omer. Karenanya, dia berpendapat konsumen bisa diberi insentif berupa pengurangan harga produk yang mendekati masa kedaluwarsanya.
Menurut Wasteless, teknologinya mudah diintegrasikan dengan sistem teknologi informasi yang ada di supermarket, dan mampu menawarkan solusi yang baik bagi semua pihak. Salah satu ritel di Spanyol yang menjalankan uji coba solusi Wasteless dilaporkan berhasil mengurangi limbah makanannya hingga hampir 32,7%.
Meski demikian, startup yang memiliki kantor di New York, Tel Aviv, London, dan Amsterdam ini mengatakan akan terus meningkatkan kemampuan algoritma machine learning miliknya, sehingga bisa mengurangi food waste hingga 80%. Semoga Indonesia juga bisa segera menerapkan AI untuk memerangi food waste, ya!