Titik Temu
Bumi Makin Panas, Kekeringan di Mana-mana Karena Perubahan Iklim
Editorial Cast | 09.14.2022

Tahun 2022 mungkin bisa disebut sebagai tahunnya kekeringan parah. Suhu ekstrem dan gelombang panas mengakibatkan kekeringan yang meluas di berbagai negara. Beberapa wilayah bahkan memecahkan rekor.

Ilmuwan menyebutkan, sejumlah wilayah di belahan Bumi utara mengalami kekeringan panas yang hampir memecahkan rekor, seperti Amerika Utara, Eropa dan Mediterania, dan China. Sejumlah wilayah lain juga terkena dampak parah kekeringan, termasuk Afrika Timur, Amerika Selatan, beberapa wilayah Asia dan beberapa bagian Australia. 

Menurut laporan PBB, frekuensi dan durasi kekeringan telah meningkat hampir sepertiga secara global sejak tahun 2000. Menurut Drought in Numbers 2022, krisis iklim memicu hal ini. 

Data Drought in Numbers menyebutkan, lebih dari 2,3 miliar orang di seluruh dunia saat ini menghadapi tekanan air. Meskipun hanya mewakili 15% dari bencana alam, kekeringan membunuh 650 ribu orang antara tahun 1970 dan 2019. Lebih dari 10 juta telah meninggal karena peristiwa kekeringan besar selama 100 tahun terakhir.

Laporan tersebut selanjutnya mengatakan bahwa pada 2050, kekeringan dapat berdampak pada lebih dari 75% populasi dunia. Sebanyak 5,7 miliar orang dapat tinggal di daerah dengan kekurangan air setidaknya selama satu bulan dalam setahun, dan lebih dari 215 juta orang dapat mengungsi dari rumah mereka karena kekeringan dan faktor terkait perubahan iklim lainnya.

Dampak kekeringan 

Kekeringan adalah salah satu bencana alam yang paling merusak, dan dampaknya signifikan dalam menghilangkan nyawa banyak orang, seperti kegagalan panen berskala luas, kebakaran hutan, dan kekurangan air. Berikut sejumlah dampak kekeringan yang membahayakan, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization atau FAO):

1. Menurunnya ketahanan pangan

Lebih dari 95% makanan diproduksi di darat dan dimulai dengan tanah dan air. Kekeringan akan menyulitkan produksi pertanian serta menambah angka kemiskinan dan kekurangan gizi di semua wilayah di dunia. Jumlah orang yang rawan pangan di negara-negara yang kekeringan telah meningkat sebesar 45,6% sejak 2012 dan kelaparan pun meningkat, terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan.

2. Intensitas badai pasir dan debu 

Penggunaan lahan dan faktor iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas badai pasir dan debu, terutama di daerah kering dan semi-kering, selama beberapa dekade terakhir. Ini berdampak pada banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk lingkungan, iklim, kesehatan, mata pencaharian, pertanian, ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial-ekonomi. 

3. Degradasi lahan 

Kekeringan mendorong degradasi lahan dan kegersangan. Pada akhirnya, ini pun membawa dampak mengkhawatirkan pada ketahanan pangan dan mata pencaharian jutaan orang, karena mengganggu fungsi ekosistem dan mengancam keanekaragaman hayati, sumber daya air dan tanah, serta meningkatkan emisi karbon dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Degradasi lahan yang disebabkan oleh manusia diperkirakan mempengaruhi setidaknya 1,6 miliar hektar lahan di seluruh dunia, dan secara langsung mempengaruhi 3,2 miliar orang.

Juga terjadi di Indonesia

Tantangan perubahan iklim pun dirasakan Indonesia. Maret lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa perubahan iklim mempengaruhi Indonesia, terbukti dengan mencairnya es di Puncak Jaya, Papua, akibat kenaikan suhu dan cuaca ekstrem.

Dalam beberapa tahun ke depan, es yang berada di puncak gunung tertinggi di Indonesia itu diprediksi akan hilang. Dampak perubahan iklim juga terlihat dari meningkatnya frekuensi curah hujan ekstrem di berbagai daerah di Tanah Air. Bukan itu saja, perubahan iklim juga berpotensi menyebabkan kekeringan ekstrem yang pada akhirnya juga berdampak pada kebakaran hutan, pencemaran lintas batas, kegiatan ekonomi, transportasi, serta kesehatan. Mengerikan ya.

Tindakan proaktif cegah risiko kekeringan

FAO menganjurkan tiap negara untuk segera beralih dari pendekatan reaktif ke proaktif dalam pengelolaan kekeringan, untuk meningkatkan kesiapsiagaan risiko kekeringan dan memperkuat kapasitas adaptasi. 

Ibrahim Thiaw, Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB dalam laporan “Combat Desertification”, menunjukkan beberapa contoh sukses program proaktif yang dilakukan untuk mengurangi risiko kekeringan. Petani di Nigeria contohnya, mengurangi risiko kekeringan dengan menciptakan sistem wanatani baru di atas lima juta hektar lahan. Tutupan vegetasi telah meningkat lebih dari tujuh juta hektar lahan di Sahel, Afrika, selama 25 tahun terakhir karena intervensi seperti perubahan dalam pengelolaan pohon dan kepemilikan.

Indonesia juga masuk dalam laporan ini. Penerapan irigasi tetes telah memberikan manfaat yang signifikan di provinsi-provinsi yang rawan kekeringan di Indonesia, juga Vietnam dan Kamboja. Petani sayur yang menerapkan irigasi tetes mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air hingga 43% dan hasil 8%-15%.

Mengutip laporan Drought in Numbers 2022, para ahli menyimpulkan bahwa teknik pengelolaan pertanian yang berkelanjutan dan efisien diperlukan untuk menumbuhkan lebih banyak makanan di lahan yang lebih sedikit dan dengan lebih sedikit air. 

“Manusia harus mengubah hubungan mereka dengan makanan, pakan ternak dan serat, bergerak menuju pola makan nabati dan mengurangi konsumsi hewan,” kata laporan tersebut. Menurut laporan tersebut, kebijakan bersama, kemitraan, dan pendanaan di semua tingkatan sangat dibutuhkan ke depan untuk menyediakan rencana aksi mengatasi kekeringan yang terpadu. (E03)