Titik Temu
Bukan Cuma Buat Masak, Minyak Goreng Jadi Bahan Bakar Pesawat Airbus 
Editorial Cast | 04.20.2022

Minyak goreng belakangan ini bikin heboh karena langka dan diburu emak-emak se-Indonesia. Padahal di Prancis, salah satu bahan memasak ini justru digunakan sebagai bahan bakar pesawat Airbus. 

Dalam uji coba yang berlangsung selama tiga jam dari Bandara Blagnac di Touluse, Prancis pada tanggal 25 Maret lalu, pesawat Airbus A380 berhasil terbang dengan menggunakan bahan bakar minyak goreng.

Airbus mengklaim pesawatnya berhasil terbang menggunakan bahan bakar udara berkelanjutan atau Sustainable Aviation Fuels (SAF) yang dibuat dari campuran minyak goreng dan limbah lemak. Bahan bakar ini kemudian digunakan pada mesin tunggal Rolls-Royce Trent 900.

Menurut Airbus dalam uji coba kedua dari Toulouse ke Nice pada 29 Maret, penerbangan difokuskan untuk memantau penggunaan SAF saat lepas landas dan mendarat. Para ahli berpendapat, hasil uji coba ini tidak mengecewakan. 

Adapun bahan bakar yang digunakan, dipasok oleh TotalEnergies, sebuah perusahaan asal Normandy, Prancis. Bahan bakar ini dibuat dari Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA), yang bebas aroma dan sulfur.

Airbus telah beberapa kali menguji penerbangan bertenaga SAF selama setahun terakhir, di antaranya A350 pada Maret 2021, dan pesawat A319neo yang terbang dengan minyak goreng pada Oktober.

Saat ini, pesawat Airbus dapat ‘minum’ hingga 50% SAF yang dicampur dengan minyak tanah tradisional. Airbus berharap perusahaannya bisa mendapatkan sertifikasi pesawat terbang berbahan bakar SAF pada akhir dekade ini.

“Meningkatkan penggunaan SAF tetap menjadi tujuan utama dalam mencapai ambisi industri emisi nol karbon pada 2050,” kata Airbus seperti dikutip dari CNN

Airbus mengklaim pesawat terbang yang menggunakan bahan bakar SAF dapat mengurangi emisi karbon sebesar 53% hingga 71%. Ke depannya, Airbus berencana menghadirkan pesawat tanpa emisi pertama di dunia pada 2035.

SAF diklaim memberikan netralitas karbon karena karbondioksida (CO2) telah diserap saat bahan organik yang dikembangkan. Kini, SAF sudah digunakan dalam jumlah terbatas oleh beberapa maskapai penerbangan. Namun, harganya yang tinggi membuat adopsi bahan bakar ini belum bisa dilakukan dalam waktu dekat.

Untuk diketahui, keuntungan A380 sebagai pesawat penumpang terbesar di dunia telah menurun dalam beberapa tahun terakhir karena beberapa maskapai menunda penggunaan pesawat ini. Sebagian besar beralasan A380 kurang hemat bahan bakar dibandingkan pesawat jarak jauh yang lebih modern.

A380 yang terakhir dikirimkan Airbus ditujukan untuk maskapai Dubai Emirates pada akhir 2021. Untuk menanggulangi masalah efisiensi bahan bakar, Airbus tampaknya tengah mengeksplorasi berbagai opsi bahan bakar alternatif untuk A380.

Airbus telah mencoba menerbangkan pesawat lain yang menggunakan 100% bahan bakar ramah lingkungan, baik A350 dan maupun A319neo tahun lalu. Tetapi uji coba penerbangan ini menandai pertama kalinya mereka bereksperimen dengan A380, pesawat penumpang terbesar yang pernah ada. 

Steven Le Moing, manajer program SAF Airbus, menggambarkan kinerja mesin bertenaga SAF sepenuhnya bekerja dengan normal dan sama dengan apa yang mereka lihat dalam tes sebelumnya di pesawat lain. 

Pilot uji pesawat, Wolfgang Absmeier, melaporkan hal serupa. “Kami tidak melihat perbedaan apa pun, dari sudut pandang pilot. Para insinyur di belakang layar, mereka melihat 1.000 parameter, tetapi pada pandangan pertama, tidak ada perbedaan sama sekali,” ujarnya.

Pesawat komersial sudah diizinkan terbang dengan campuran bahan bakar jet biasa dan SAF sebanyak 50%. Namun, yang membuat tes ini menarik adalah bahwa satu mesin dijalankan dengan 100% bahan bakar berkelanjutan. 

“Dalam hal ini, bahan bakar yang dimaksud sebagian besar berasal dari minyak goreng bekas, serta limbah lemak lainnya. Ini disebut bahan bakar HEFA, yang merupakan singkatan dari hydroprocessed esters and fatty acids,” tulis Airbus.

Tantangan

Joshua Heyne, seorang profesor teknik mesin dan kedirgantaraan di University of Dayton, mengatakan bahwa ada minat dari industri untuk beralih ke bahan bakar yang diuji Airbus untuk penerbangan ini. 

Namun, dia mengatakan bahwa masih ada pertanyaan tentang penggunaan jenis SAF ini dalam bentuk 100%, yang bertentangan dengan campurannya dengan minyak tanah biasa. Kekhawatiran pertama adalah tentang seberapa kompatibelnya dengan bahan di pesawat, karena berpotensi berdampak pada segel, atau o-ring, sistem, dan menyebabkan kebocoran.

Yang kedua adalah potensi bahan bakar untuk mempengaruhi cara pesawat mengukur jumlah bahan bakar di dalam tangki, karena bisa memiliki densitas yang berbeda dibandingkan dengan bahan bakar jet tradisional. Le Moing, dari Airbus, mengatakan bahwa masalah kedua ini telah ada di radar mereka. “Salah satu topik yang kami jelajahi adalah perilaku sistem pengukuran,” katanya. 

Alasan mengapa perusahaan seperti Airbus tertarik pada bahan bakar penerbangan berkelanjutan adalah karena mereka mewakili salah satu cara untuk membuat industri lebih hijau, dan idealnya berkontribusi lebih sedikit terhadap perubahan iklim. 

Bahan bakar penerbangan berkelanjutan adalah topik yang kompleks, tetapi mereka harus memiliki lebih sedikit jejak karbon daripada bahan-bahan biasa ketika mempertimbangkan seluruh siklus hidupnya. Heyne mengatakan bahwa bahan bakar HEFA juga menghasilkan lebih sedikit jelaga dan juga kecil kemungkinannya untuk menciptakan jejak karbon. 

Selain tes Airbus di A380 dan tes lainnya tahun lalu, perusahaan lain juga telah menguji menggunakan bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Misalnya, United mengoperasikan penerbangan penumpang dengan 737 MAX tahun lalu, dengan salah satu mesinnya menggunakan 100% bahan bakar penerbangan berkelanjutan. 

Airbus bahkan memiliki rencana untuk menggunakan A380 untuk menguji bahan bakar hidrogen, meskipun itu beberapa tahun lagi. Heyne mengatakan bahwa industri penerbangan tertarik pada bahan bakar penerbangan berkelanjutan tipe HEFA yang diuji Airbus, tetapi dia mencatat bahwa ketersediaan pasokan bisa menjadi tantangan. 

“Sayangnya, tidak banyak minyak goreng bekas di luar sana, tidak cukup untuk menggantikan semua bahan bakar penerbangan yang kita butuhkan. Jadi kita harus mencari jalur lain,” tutup Heyne. (E03)