Danau Toba di Sumatera Utara merupakan salah satu kebanggaan pariwisata Indonesia. Sebabnya, danau ini adalah yang terluas di Asia Tenggara dan menyimpan beragam potensi– tidak hanya dari sisi pariwisata, tapi juga aktivitas ekonomi termasuk budidaya perikanan.
Hingga sekarang, Danau Toba menyokong salah satu kegiatan ekonomi budidaya ikan nila atau tilapia dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Potensi dari perputaran ekonomi budidaya perikanan di Danau Toba, terutama budidaya ikan nila disebut mencapai Rp5 triliun per tahun.
Data dari GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak) Sumatera Utara pada 2020 mencatat produksi ikan nila di Danau Toba mencapai 80.941 ton. Budidaya ini juga telah mendorong ekspor dan memberikan kontribusi 21% untuk Produk Domestik Regional Bruto di wilayah Danau Toba.
Namun dengan kebijakan pemerintah pusat yang telah menetapkan Danau Toba sebagai tujuan super prioritas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan SK Gubernur Sumatera Utara No. 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba, lalu ada SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/209/KPTS/20217 mengenai Status Trofik Danau Toba.
Aturan itu dianggap membatasi daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan. Disebutkan, perlu ada pembatasan daya dukung Danau Toba untuk KJA menjadi 10.000 ton per tahun agar kualitas air yang tercemar dapat terkendali. Selain itu, aturan itu juga menetapkan Danau Toba merupakan danau berstatus oligotrofik atau danau dengan kandungan zat hara sangat rendah, sehingga perlu ada upaya untuk memperbaiki dan mengembalikan kesuburannya.
Terkait aturan ini, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri menyatakan pembatasan total ikan nila tidak akan menyelesaikan masalah di Danau Toba. Bahkan, kebijakan ini bisa menyebabkan berbagai masalah baru, seperti puluhan ribu orang menganggur, termasuk kerugian ekonomi mencapai lebih dari Rp5 triliun per tahun.
Rokhmin menyorot pembatasan ini dapat mengakibatkan penurunan ekonomi wilayah di sekitar Danau Toba, terutama di tujuh kabupaten sekitarnya, yaitu Simalungun, Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, dan Toba Samosir.
“Saya ungkapkan budidaya ikan nilai di Danau Toba itu sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat. Itu harusnya ditumbuhkembangkan, bukan untuk dimatikan,” tuturnya dalam acara webinar bertajuk Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila untuk Masyarakat Toba.
Hal ini diperkuat data GMPT Sumatera Utara pada 2020 yang menunjukkan usaha KJA di Danau Toba berhasil menyerap tenaga kerja lebih dari 12.300 orang. Para tenaga kerja itu terlibat mulai dari sektor hulu hingga hilir, seperti pabrik pakan, pembesaran, pengolahan ikan nila, hingga pengemasan.
Rokhmin berpendapat, dengan pengaturan yang jelas, pariwisata dan aktivitas budidaya ikan KJA yang ramah lingkungan dapat berdampingan dan berkembang bersamaan. Ia mencontohkan negara seperti Jepang dan Malaysia juga dapat menjadikan KJA sebagai objek wisata.
Ada beberapa rekomendasi yang ia berikan terkait pengelolaan KJA di Danau Toba. Salah satunya adalah pembatasan ikan nila dari budidaya KJA rata-rata 55.000 ton per tahun, sesuai dengan perhitungan daya dukung Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2018.
Selain itu, seluruh aktivitas KJA di Danau Toba harus ramah lingkungan dan memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik dan Benar (CBIB), serta sertifikasi dari lembaga internasional untuk pasar ekspor. Zonasi lokasi KAJ juga harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang disepakati semua pemangku kepentingan, termasuk zonasi lokasi budidaya perikanan, industri lain, termasuk pariwisata.
Guru Besar IPB yang juga Ketua Tim Riset CARE LPPM IPB University tentang Resolusi Konflik dalam Penggunaan Sumber Daya Alam Danau Toba, Manuntun Parulian Hutagaol, juga berpendapat pentingnya budidaya ikan nila di Danau Toba. Menurutnya, industri KJA di Danau Toba perlu dipertahankan karena memberikan dampak dan kontribusi besar pada perekonomian di kawasan sekitarnya.
KJA di Danau Toba mampu mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta menjadi pondasi keberagaman basis perekonomian masyarakat Toba. Perlu diketahui, angka kemiskinan di Danau Toba sekitar 10% dan pendapatan rata-rata per kapita per tahun masyarakatnya jauh di bawah rata-rata nasional.
Sementara itu, dosen dan peneliti dari Universitas Sumatera Utara, Ternala Alexander Barus melihat perlunya kajian ulang tentang penentuan kapasitas daya tampung perikanan Danau Toba. Hal ini dapat dilakukan lewat penelitan komprehensif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di sekitar kawasan Danau Toba.
“Banyak alternatif yang bisa dilakukan supaya pencemaran bisa seminimal mungkin. Bisa dari pakannya, dari sistem keramba jaring apungnya dan lain sebagainya. Itu bisa kita lakukan, sehingga ada KJA yang ramah lingkungan. Tinggal komitmen kita mau tidak itu dilakukan,” kata Ternala. (E04)