Bambu dikenal sebagai salah satu material berkelanjutan yang ada di Indonesia. Hal itu tidak lepas dari sifatnya yang sangat lokal, dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia, dan sirkular. Namun tidak hanya itu, bambu juga merupakan material serbaguna karena mudah dibentuk dan memiliki sifat elastis.
Oleh sebab itu, bambu banyak digunakan untuk berbagai keperluan di Indonesia, mulai dari material pengganti kayu hingga dibentuk menjadi berbagai perabotan, bahkan untuk keperluan estestis yang menunjang desain. Salah satu studio yang dikenal kerap memanfaatkan bambu untuk produknya adalah Studio Dapur.
Bekerja sama dengan para pengrajin di Jawa Barat, Studio Dapur memroduksi beragam produk dari bambu, seperti tampah, tudung saji, hingga alas makanan. Meski dikenal sebagai produk yang berkelanjutan, dalam prosesnya produk yang dibuat dari bambu juga menghasilkan sisa, seperti selongsong bambu, sisa serutan, dan debu.
Berawal dari sisa-sisa produksi tersebut, Mega Puspita sebagai desainer produk dari Studio Dapur berkolaborasi dengan Hannah Elisabeth Jones, seorang ahli di bidang desain biomaterial dan pewarnaan alami. Kolaborasi itu terjalin dalam Altermatter Project, sebuah program yang fokus pada pengembangan material alternatif dan desain yang diselenggarakan CAST Foundation bersama British Council Indonesia, Playo, dan Applied Arts Scotland.
Mega dan Hannah berkolaborasi dalam proyek yang diberi nama Bonding Bamboo. Dalam kolaborasi ini, mereka memanfaatkan sisa produksi dari para pengrajin bambu di Studio Dapur. Menurut Mega, ada dua bahan yang dimanfaatkan dalam proyek ini, yakni sisa serutan dan debu hasil produksi.
“Sisa serutan biasanya digunakan untuk bahan bakar perapian untuk memasak. Sementara debu hasil produk itu bisa menjadi masalah, karena bukan hanya debu-debu ini merupakan limbah, tapi juga berbahaya bagi kondisi kesehatan pernapasan para pengrajin,” tuturnya dalam workshop Altermatter yang digelar secara virtual.
Dari situ, keduanya lantas mencoba mengembangkan produk yang memiliki nilai tinggi dengan menghasilkan produk yang cantik dari limbah tersebut, sehingga bisa ikut meningkatkan nilai dari limbah bambu. Selain itu, upaya ini juga mendorong para pengrajin menghasilkan lingkungan kerja yang lebih bersih, karena akan ada insentif bagi mereka yang mengumpulkan limbah hasil produksi.
Dalam mengembangkan produk Bonding Bamboo, Hannah menceritakan awalnya mereka memanfaatkan debu hasil produksi yang dikombinasikan dengan material alami lain, seperti gliserin untuk menghasilkan material yang lebih fleksibel. Mereka juga mencoba mengembangkannya menjadi material yang lebih padat, seperti beton.
Selain mengembangkan material dengan kepadatan yang berbeda, Hannah dan Mega juga mencoba melakukan beberapa metode perwarnaan. Setelah melakukan sejumlah percobaan, ia menemukan ternyata dari durasi pembakaran ternyata bisa berpengaruh pada warna yang berbeda.
“Jadi, kami mencoba beberapa kemungkinan, dengan melakukan pembakaran di durasi tertentu dan memakai warna berbeda. Kami juga melapisinya dengan lilin untuk membuatnya lebih tahan air,” tutur Hannah menjelaskan.
Dari pengembangan tersebut, keduanya lantas menghasilkan beberapa purwarupa. Salah satunya berasal dari debu sisa produksi yang berbentuk padat dan dipadukan dengan teknik pembuatan marbel.
Dengan kombinasi itu, mereka bisa menghasilkan sebuah guratan warna yang mirip dengan efek marmer. Bahan ini lantas bisa digunakan untuk membuat beberapa produk, seperti mangkok, nampan, dan sejumlah produk rumah tangga lain.
Selain itu, mereka juga mengembangkan material yang dibuat mirip dengan hasil tenunan. Mega menuturkan, Hannah melakukan sejumlah eksplorasi untuk bisa menghasilkan material padat, tapi mirip dengan tenunan. Bahan ini dapat digunakan untuk alas keranjang atau alas penahan panas.
Tidak hanya itu, mereka juga memanfaatkan untaian bambu untuk menghasilkan kemasan dari produk yang dihasilkan di atas, termasuk membuat pelindungnya. Dengan demikian, seluruh produk yang dikembangkan dalam proyek ini, baik dari produk dan kemasan, berasal dari limbah bambu. (E04)