Bepergian menggunakan pesawat, apalagi untuk jarak jauh, memang sangat nyaman. Namun di balik kenyamanan itu, kita sepatutnya merasa bersalah setelah mengetahui fakta bahwa perjalanan udara jarak jauh berkontribusi pada kerusakan lingkungan.
Menurut World Economic Forum (WEF), penerbangan bertanggung jawab atas 3% emisi karbon dioksida global. Angka ini mungkin terlihat kecil. Tapi masalahnya, ketika sebagian besar sektor ekonomi berusaha menyusutkan jejak karbon mereka, jejak karbon sektor penerbangan justru meningkat.
Tanpa tindakan yang signifikan, kontribusi sektor penerbangan terhadap emisi global dapat melonjak hingga 22% pada tahun 2050 karena jumlah penumpang meningkat.
Pada 2021, maskapai penerbangan global yang diselenggarakan oleh International Air Transport Association (IATA) berkomitmen untuk membalikkan tren ini untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
Perjalanan udara yang lebih ramah lingkungan bisa diupayakan, tapi tentu saja akan menjadi tugas yang menantang, terutama pada saat maskapai masih belum pulih dari kerugian finansial yang mereka alami selama pandemi.
Mungkin, jalan paling mudah menuju penerbangan yang lebih ramah lingkungan dan perjalanan udara yang lebih berkelanjutan adalah dengan mengganti bahan bakar jet dari minyak tanah tradisional dengan alternatif yang ramah lingkungan, yang dikenal sebagai bahan bakar penerbangan berkelanjutan alias sustainable Aviation fuels (SAFs).
SAF diproduksi menggunakan minyak goreng, limbah rumah tangga atau bahan tanaman, dan dapat dicampur dengan minyak tanah untuk bahan bakar pesawat yang ada tanpa perlu memodifikasi mesinnya. Setelah memperhitungkan produksi dan transportasi, penggunaan SAF dapat menghasilkan emisi karbon 80% lebih sedikit ketimbang penggunaan minyak tanah dalam satu kali penerbangan.
Angka yang dihasilkan oleh IATA menunjukkan bahwa hampir 400.000 penerbangan sampai saat ini telah didukung oleh SAF. Pada tahun 2021, 100 juta liter bahan bakar yang lebih ramah lingkungan ini telah diproduksi.
Saat ini, bahan bakar berkelanjutan hanya menyumbang 0,1% dari konsumsi global, dan biasanya harganya tiga kali lebih mahal daripada bahan bakar konvensional. Meski produksi SAF meningkat, jalan menuju penerbangan ramah lingkungan masih panjang.
Dengan dukungan yang cukup dari pemerintah, IATA memperkirakan bahwa penggunaan SAF yang lebih luas memungkinkan pengurangan emisi keseluruhan penerbangan sebesar 65%. Namun, lagi-lagi ini masih merupakan upaya kecil dari bagian yang jauh lebih besar.
Memanfaatkan energi listrik adalah langkah lain yang jelas untuk membuat perjalanan udara menjadi lebih berkelanjutan. Dengan meningkatnya proporsi listrik yang berasal dari sumber rendah karbon seperti angin atau tenaga surya, kendaraan listrik dapat secara dramatis mengurangi emisi karbon yang terkait dengan perjalanan.
Tapi, pesawat listrik menghadapi satu rintangan yang cukup besar, yaitu berat. Untuk diketahui, satu kilogram bahan bakar jet mengemas energi 12.000Wh, dan baterai lithium-iron hanya mengelola 250Wh per kilogram.
Pesawat tradisional menjadi lebih ringan karena membakar bahan bakarnya, sedangkan jika menggunakan baterai tidak seperti itu. Pesawat apa pun dengan daya baterai yang cukup untuk penerbangan jarak jauh akan terlalu berat untuk dibawa ke angkasa.
Sebaliknya, sejumlah perusahaan berfokus pada pesawat yang lebih kecil yang dapat melakukan perjalanan pada rute yang lebih pendek, atau model hibrida, di mana listrik melengkapi mesin tradisional.
Maskapai murah EasyJet misalnya, saat ini sedang mengembangkan pesawat yang menggunakan listrik sepenuhnya, yang mampu membawa 186 penumpang. Pesawat ini diharapkan dapat mencakup rute pendek seperti London ke Amsterdam mulai 2030.
Alternatif lain yang juga sering digembar-gemborkan sebagai sumber energi bersih masa depan adalah hidrogen. Dengan hidrogen, proses pembakaran hanya melepaskan uap air. Pesawat hidrogen dapat membakar hidrogen secara langsung sebagai bahan bakar atau menggunakannya untuk menghasilkan listrik menggunakan sel bahan bakar hidrogen.
Pada tahun 2020, perusahaan penerbangan ZeroAvia menjajal pesawat dengan enam tempat duduk dan melakukan penerbangan penumpang pertama yang ditenagai oleh sel bahan bakar hidrogen.
Namun, hidrogen pun punya tantangannya sendiri. Meskipun menurut beratnya, hidrogen menyimpan lebih banyak energi daripada bahan bakar jet, hidrogen membutuhkan volume yang jauh lebih besar, bahkan ketika didinginkan menjadi keadaan cair.
Untuk menghasilkan jumlah tenaga yang sama dengan pesawat standar, jet hidrogen akan membutuhkan tangki bahan bakar empat kali lebih besar. Imbasnya, tangki ini memakan tempat sehingga menyisakan lebih sedikit ruang untuk penumpang atau barang.
Selain itu, meskipun hidrogen dapat diproduksi dengan emisi mendekati nol, mayoritas hidrogen yang digunakan saat ini berasal dari gas alam dan menggunakan proses yang melepaskan karbon dioksida.
Keberhasilan penerbangan bertenaga hidrogen juga akan bergantung pada pengembangan “ekonomi hidrogen”, yaitu meliputi infrastruktur global yang luas yang diperlukan agar hidrogen dapat diproduksi dengan bersih, disimpan, dan diangkut ke seluruh dunia.
Ya, seperti sudah disebutkan di awal, mewujudkan penerbangan ramah lingkungan punya banyak tantangan. Namun seiring perkembangan teknologi, kita berharap tantangan tersebut dapat diatasi, dan penerbangan jarak jauh yang ramah lingkungan bisa terwujud. (E03)